Headline

Hakim mestinya menjatuhkan vonis maksimal.

Fokus

Talenta penerjemah dan agen sastra sebagai promotor ke penerbit global masih sangat sedikit.

Ardianto Tak sebatas Aksi Panggung

Fetry Wuryasti
21/11/2019 05:20
Ardianto  Tak sebatas Aksi Panggung
FOTOGRAFER PANGGUNG ARDIANTO( MI/ BARY FATHAHILAH)

Ardianto menyarankan peminat fotografi musik untuk berlatih dari panggung-panggung kecil. Hal itu karena panggung-panggung tersebut yang dapat memaksa fotografer untuk berpikir.

DI masa lalu, banyak musikus menganggap kebutuhan dokumentasi sambil lalu. Keberadaan seorang fotografer profesional untuk mengabadikan proses bermusik mereka dalam bentuk citra belum dilihat sebagai hal krusial.

Kini, seiring perkembangan internet dan media sosial, anggapan tersebut perlahan berubah. Musikus mulai melihat dokumentasi foto yang apik sebagai kebutuhan. Berkembanglah kemudian genre fotografi musik.

Ardianto, pemilik akun media sosial @fotokonser, merupakan salah satu sosok yang terbilang eksis di genre tersebut.

Kiprahnya sendiri bermula dari sesuai nama akunnya, yaitu panggung-panggung konser, yang kemudian meluas pada berbagai aktivitas bermusik para kliennya, mulai sekadar latihan, rekaman di studio, sampai pementasan di panggung. Maka itu, ia menyebut profesi yang dilakoninya fotografer musik.

"Secara definisi, music photography saya rangkum menjadi proses pendokumentasian, mulai musik belum dibuat atau belum jadi sebagai sebuah lagu sampai akhirnya lagu itu bisa dipentaskan di atas panggung. Jadi fotonya itu bisa diambil dari berbagai kegiatan," cerita Ardianto saat ditemui di Jakarta, Selasa (29/10).

Foto Konser, jenama yang ia pakai, berawal pada 2007. Bukan dalam bentuk agensi, apalagi perusahaan. Itu semata usaha fotografi pribadi Ardianto.

Panggung besar yang pertama didokumentasikannya saat itu ialah milik band cadas, Koil. Peluang itu terlahir ketika Koil membuat album baru berikut video klipnya. Konsep video klip yang dirancang ialah suasana konser.

Untuk kebutuhan tersebut, Koil memerlukan banyak fotografer dan memanggil para fannya untuk turut memotret. Ardianto, sebagai Koilkillers, menjawab panggilan itu, dan ternyata Koil kepincut dengan foto-foto jepretannya. Sejak itu, ia acap diajak tur sebagai fotografer band asal Bandung itu.

Pintu prospek bagi bisnis fotografi Ardianto makin melebar ketika manajer Koil, yang juga bekerja di majalah Rolling Stone, memintanya menjadi kontributor foto di majalah yang sekarang telah almarhum itu.

Keikutsertaannya dalam tur Koil juga membuat Ardianto sering bertemu dengan banyak musikus dan pelaku event organizer. Perlahan, informasi perihal kompetensinya memotret menyebar dari mulut ke mulut.

"Marketing saya adalah dari musikusnya. Itu karena sesama musikus sering berbincang dan bisa saja menawarkan fotografernya," ujar Ardianto.

Setelah Koil, ia sempat menangani sejumlah band rock lain, seperti Burgerkill dan The Sigit. Lama-kelamaan, terpikir oleh Ardianto untuk memperluas portofolionya di segmen musik.

Jalan yang ditempuhnya tak jauh beda dari saat ia merintis bisnisnya dulu. Kali ini, dewi fortuna mempertemukannya dengan Dewi Sandra. Ardianto yang pada suatu waktu pernah memotret penyanyi tersebut di panggung, iseng mengirimkan foto tersebut pada saat Dewi Sandra mencicitkan kuis di Twitter. Dari situ, manajemen sang artis kemudian menghubunginya.

"Dewi Sandra membuka jalan untuk memotret saat Agnes Monica manggung. Saya meminta Dewi menghubungi Agnes langsung. Lalu ke Iwan Fals dan sekarang saya lama motret untuk Raisa sejak 2009," terangnya.

Menurut Ardianto, biduanita yang segera menuntaskan rehat dari panggung konser itu memang telah menjadi kliennya sedari debut. Ardianto berkenalan dengan manajernya dan mengajukan diri untuk memotret Raisa secara reguler saban manggung. Bahkan, kini tak sebatas saat Raisa beraksi. "Memotret Raisa itu, saya mulai dari pembuatan album, kadang promo manggung," ujarnya.

Dalam menekuni pekerjaannya, Ardianto mengaku tak selalu terpaku desain konsep. Konsep, imbuhnya, bisa mengalir begitu saja. Pengarahan konsep dapat dilakukan sesudah berbagai materi terkumpul untuk kemudian diseleksi dan dirancang bagaimana output-nya.

"Yang penting musikus bersangkutan punya perpustakaan dokumen proses pembuatan musik album mereka. Itu bisa menjadi behind the scene pada saat launching, dikombinasikan menjadi video, buku, atau apa pun dengan foto-foto dari candid sat pembuatan musik," ujarnya.

Dalam menjalani profesi ini, menangkap momentum, menjadi passion-nya daripada membuat foto moment seperti di studio ataupun album cover sebab fotografi musik seperti dokumenter yang mengalir begitu saja.

Kepercayaan

Pria kelahiran 1979 itu juga mengemukakan, kepercayaan klien merupakan hal yang amat dijaganya. Apalagi, jika kliennya ialah musikus perempuan. Itu penting lantaran pekerjaan Ardianto tidak disertai kontrak jangka panjang yang dapat menjamin kelangsungannya.

Dirinya dan sang klien mesti membangun ikatan kepercayaan karena untuk mendapatkan foto yang apik, Ardianto tak jarang mesti masuk ke wilayah privat sang musikus. Itu juga yang menurutnya menjadi alasan musikus perempuan jarang berganti-ganti fotografer. Manajer juga tidak akan membiarkan sembarang orang masuk wilayah artisnya.

"Dalam arti kenapa tidak semudah itu menjadi musik fotografer? Itu karena butuh rekomendasi, kepercayaan, dan lainnya. Saya juga dahulu beberapa kali trial, baru lanjut. Total kini sudah 10 tahun menjadi fotografer Raisa," ucapnya.

Menekuni profesi fotografer musik, Ardianto bertekad untuk dapat melayani musikus lokal maupun internasional. Ia pun harus sering meriset berbagai kebutuhan dokumentasi konser, termasuk setting dan pernak-pernik panggung serta pencahayaan. Biasanya, kebutuhan alat dan jumlah anggota dalam timnya juga baru bisa diketahui bila telah melihat venue dan permintaan promotor serta manajemen musikus.

Seperti konser Backstreet Boys (BSB) dan Ed Sheeran berbeda dari lokasi sampai kebutuhannya. Dalam konser BSB, dia tidak hanya memfoto konser, tapi juga menangani permintaan dokumentasi loading, sponsor, report, booth-booth makanan, petunjuk jalan signage, sampai umbul-umbul. Seberapa luas venue juga menentukan berapa banyak orang yang direkrut untuk motret konser itu.

Ketika memasukkan penawaran, Ardianto akan mendaftarkan jumlah anggota tim berapa orang, berikut jumlah bujetnya. Promotor biasanya setuju dengan orang-orang yang dia bawa.

"Untuk event besar konser band internasional aksesnya dari promotor. Awalnya ada juga promotor yang DM Instagram saya, ada juga yang bosnya langsung menawarkan, seperti konser Guns n' Roses, mereka puas dan berlanjut pada konser lainnya. Saya bawa tim, membuat daftar dan mengajukan ke promotor," kata dia.

Bila diseriusi, kata Ardianto, fotografi musik bisa menjadi sebagai sumber penghidupan. Namun, tidak untuk menjadi kaya. Selain pendapatan, juga harus dibagi dengan anggota tim, apresiasi hasil fotografi konser di Indonesia belum sebesar di luar negeri.

Oleh karena itu, dia menyarankan fotografer musik mencari klien reguler dari kalangan musikus lokal untuk bisa mengejar kuantitas proyek yang banyak, baik di hari biasa maupun akhir pekan.

Regenerasi

Bicara soal regenerasi di fotografi musik, Ardianto melihat sebenarnya dari hype-nya sudah lumayan tinggi. Komunitasnya pun tidak sedikit, salah satunya ialah Stage ID yang rutin membuat lokakarya setiap bulan.

"Saya salah satu yang ikut mendirikan. Perkembangannya lumayan banyak. Namun, kalau yang main di industri, fotografernya masih itu-itu saja."

Alasannya, pertama karena mencari orang yang dipercaya itu sulit. Itu membuat akses juga terhambat buat generasi muda. Lalu pola pikir generasi muda yang hanya mau datang ke konser dengan musikus internasional. Padahal, tidak semudah itu bisa datang ke konser apa pun lalu memotret.

"Pertanyaan anak-anak sekarang, 'Bang, bagi ID dong'. Padahal, saya pakai ID kerjaan bukan buat dibagi-bagi," komentarnya.

Yang bikin susah kedua ialah zamannya sudah berubah. Kalau dahulu masih banyak media yang mengakomodasi fotograsi musik. Ardianto dulunya juga berkembang terbantu dari majalah Rolling Stone untuk membuat portofolio.

Sekarang jumlah media yang berhubungan dengan musik semakin sedikit. Jadi, lebih baik jika pelaku fotografi musik membangun akses lewat jaringan musikus.

"Perbanyak bergaul dengan musikus. Minimal ikut musikus sebulan empat kali pergi tiap weekend. Kalau musikus yang lagi hype, bisa manggung 3 kali tiap akhir pekan, artinya sebulan bisa 12 job motret," ujar Ardianto.

Biasanya kalau mau mengejar secara kuantitas, terutama pendapatan, bisa memulai dari musikus lokal. Karena kalau hanya mengharapkan pekerjaan memotret dari musikus internasional, belum tentu sebulan sekali ada konser.

Lagi pula, aturan main antara musikus lokal dan internasional tentu berbeda. Yang pertama kalau di band lokal apalagi kalau bisa menjadi ofisial, akses akan lebih banyak untuk bisa memotret sepanjang pertunjukan.

Sementara itu, bekerja untuk konser musikus internasional lebih rumit. Boleh memotret tiga lagu selama konser saja, menurutnya, sudah bagus. Lebih lanjut, kemungkinan tidak memotret aksi panggung sangat besar. Promotor bisa saja mengontrak fotografer hanya untuk kebutuhan sponsor dan lain-lain.

"Panggung sebenarnya hanya 20% karena ada kebutuhan report promotor terhadap manajemen artis dan public relation yang kami cover juga. Jadi di sebuah show internasional, semua keputusan boleh tidaknya foto ada di manajemen artis, bukan di promotor. Hanya manajemen artis yang memilih atau menentukan berapa orang yang boleh memfoto musikus. Ini yang banyak tidak tahu."

Terkadang, lanjutnya, seluruh hasil foto harus dikirim dahulu ke manajemen di luar negeri, baru kemudian dikirim balik ke Indonesia. Manajemen artis juga memilih dari tiap media yang besar. Pengalaman dia memotret acara musik di luar negeri, tidak seperti di Indonesia. Untuk event yang dihadiri 300 ribu orang, paling banyak 10 fotografer atau 10 media karena media lain rata-rata membeli foto kepada kantor berita. Sebaliknya, di Indonesia, satu konser bisa 20-30 fotografer/media.

Untuk itu, bagi fotografer muda, ada baiknya mulai mengumpulkan portofolio dari panggung-panggung kecil. Jangan berharap langsung panggung besar. Itu karena semakin besar panggungnya semakin sulit aksesnya. Paling mudah memulai dari event pentas seni sekolah. Banyak artis lokal yang biasanya hadir. Bisa juga hunting foto di festival besar yang mengizinkan pengunjung membawa kamera, seperti Java Jazz.

Panggung kecil yang biasanya dengan pencahayaan ala kadarnya, imbuh Ardianto, dapat menjadi arena berlatih yang baik. Itu karena di panggung besar, fotografer bisa jadi terlalu nyaman dengan lighting yang bagus. "Keenakan," selorohnya.

Panggung-panggung kecil akan melatih fotografer musik untuk menghasilkan gambar di kondisi seminimal mungkin. Lingkungan itu yang dapat memaksa fotografer berpikir dan berkreasi. (M-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Triwinarno
Berita Lainnya