Headline

. AS kembali memundurkan waktu pemberlakuan tarif resiprokal menjadi 1 Agustus.

Fokus

Penurunan permukaan tanah di Jakarta terus menjadi ancaman serius.

Jika Disahkan, RUU Pertanahan Bisa Picu Kerusakan Lingkungan

Deri Dahuri
26/7/2019 14:05
Jika Disahkan, RUU Pertanahan Bisa Picu Kerusakan Lingkungan
Pakar kehutanan dari IPB Bogor, Prof Bambang Hero.(Istimewa)

Awal kehadiran Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan sangat ditunggu tunggu kehadirannya. Selain masih menggunakan Undang-Undang (UU) Pokok Agraria, RUU Pertanahan bisa melengkapi yang tidak tersentuh UU Pokok Agraria.

Namun dengan berjalannya waktu ternyata, kandungan RUU Pertanahan tidak lagi seperti yang diharapkan. Bahkan RUU Pertanahan seperti mimpi buruk yang dipaksa untuk menjadi kenyataan.

RUU Pertanahan telah menjadi bahan kajian dalam berbagai diskusi yang menghadirkan organisasi masyarakat sipil dan aktivis peduli lingkungan seperti Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari).

Saat ditemui di Jakarta, Jumat (26/7),  pakar kehutanan dari IPB Bogor, Prof Bambang Hero, menilai bahwa kehadiran RUU Pertanahan tidak lagi bermaksud menyelesaikan masalah tetapi justru menimbulkan masalah baru yang berujung pada pelegitimasian dan pembenaran untuk melakukan perusakan lingkungan

“Selain itu, sekaligus membenarkan tudingan internasional bahwa kita memang melakukan deforestasi yang selama ini kita bantah dengan berbagai cara, termasuk melalui diplomasi internasional oleh pihak terkait,” papar pakar kehutanan dari IPB Bogor, Prof Bambang Hero, saat   menjawab pertanyaan sekitar RUU Pertanahan yang terus menuai protes untuk tidak disahkan dalam periode DPR saat ini.

Bambang Hero mencontohkan Pasal 35 ayat 5 RUU Pertanahan yang memaksa pemegang hak untuk menyediakan tanah untuk pekebun dan petani atau petambak di sekitar atau yang berdekatan dengan lokasi hak guna usaha (HGU) yang luasnya paling sedikit 20% dari luas tanah yang diberikan. Bahkan bila tidak ditemukan seperti pada ayat 6, dapat diberikan dalam bentuk lain Kementerian  Agraria dan Tata Ruang.

Dua ayat tersebut, menurut Bambang Hero, menunjukkan pelegalan untuk melakukan perubahan fungsi kawasan hutan di seputar areal itu meskipun bukan termasuk hutan produksi konversi seperti disyaratkan UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pemegang HGU diberi waktu 2 tahun sejak diundangkannya undang-undang tersebut ini untuk menyiapkan yang 20 % itu seperti tercantum pada Pasal 150 RUU Pertanahan.

“Yang menjadi persoalan adalah banyak kebun sawit contohnya seperti di riau, kalteng, dll yang berada di dalam kawasan hutan yang belum dialihfungsikan menjadi APL (areal penggunaan lain) yang terus beroperasi hingga hari ini dengan luasan ratusan ribu hingga jutaan ha keseluruhannya,” kata dosen dari IPB tersebut sambil menambahkan agar RUU Pertanahan ditunda pengesahannya dan perlu dibahas ulang.

Melegalkan yang Illegal

“Tentu saja pada akhirnya kawasan hutan yang berada di sekitar HGU akan menjadi sasarannya. Dan Pasal 154 RUU Pertanahan adalah salah satu pasal yang melegalkan tindakan yang selama ini kita sebut illegal yang penegakan hukumnya selama ini dilakukan dengan susah payah yang pada akhirnya harus dihentikan karena dilegalkan oleh pasal ini,” papar Bambang Hero.

Dalam Pasal 154 RUU Pertanahan berbunyi: ’Dalam hal pemegang hgu telah menguasai fisik tanah melebihi luasan pemberian HGU dan/atau yang diusahakan belum memperoleh hak atas tanah, status HGU ditetapkan oleh menteri.’

“Bayangkan saja saat ini menurut laporan Jikalahari terdapat 1.8 juta hektare lahan korporasi sawit dalam kawasan hutan termasuk menanam melebihi HGU, diduga akan dilegalkan melalui pasal ini, karena Menteri akan menetapkan statusnya, meskipun tidak jelas maksud status tersebut,” tegas Profesor Bambang Hero.

 “Inilah yang selama ini dikuatirkan akan terjadi dan harus dicegah, nyatanya akan dilegalkan. Maka kata deforestasi yang selama ini kita bantah dan kita anggap tidak dilakukan ternyata akhirnya harus diakui dan harus ditelan bulat-bulat,”papar Bambang Hero.

Pakar kehutanan ini juga mengungkapkan dirinya  tidak tahu bagaimana reaksi pemerintah Indonesia nantinya terhadap respons dunia internasional yang ternyata akhirnya tahu kalau deforestasi itu memang dilegalkan.

“Saya tidak  bisa bayangkan bagaimana nasib kawasan konservasi dan seisinya denga  hadirnya ruu pertanahan tersebut, belum lagi dengan nasib masyarakat adat dan tanah ulayatnya maka tidak akan berbeda nasibnya,” jelas Bambang Hero.

Kini telah terbukti Taman Nasional Tesso Nilo yang telah hilang kawasan hutannya hingga 705 sampai dengan 80 %. Kawasan hutan taman naional tersebut telah berganti menjadi lahan sawit. Tidak hanya itu, taman-taman nasional lainnya juga harus menerima kenyataan bahwa kawasan hutan yang berubah wujud akibat tindakan illegal dan harus dihukum ternyata pada akhirnya harus direlakan karena dilegalkan.

Bambang Hero melihat kondisi dan ancaman perusakan lingkungan hidup di depan mata yang seharusnya dicegah namun akan dilegalkan jika RUU Pertanahan disahkan. “Dengan isi RUU Pertanahan seperti itu, membuat saya berkesimpulan untuk menolaknya atau menunda pengesahannya,” tegasnya. (OL-09)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Deri Dahuri
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik