Soal Pembubaran SMK, LIPI : Buntut dari Hanya Kejar Kuantitas

Dhika Kusuma Winata
19/7/2019 20:01
Soal Pembubaran SMK, LIPI : Buntut dari Hanya Kejar Kuantitas
Suasana praktek soal perkeretaapian di SMKN 1 Glagah, Banyuwangi, Jawa Timur(Antara/Budi Candra Setya)

PENELITI pendidikan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Anggi Afriansyah menilai ide pembubaran sejumlah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang dilontarkan Gubernur Jawa Barat baru-baru ini merupakan hasil dari tidak optimalnya tata kelola.

Pasalnya, pengembangan pendidikan vokasi dalam perjalanannya hanya mengejar kuantitas dan tidak mengindahkan kontrol kualitas.

"Di masa lalu perizinan SMK memang dibuka lebar untuk mengejar proporsi jumlah SMK agar lebih banyak dari SMA. Tapi quality controlnya tidak ada. Ini yang harus menjadi perhatian pemerintah untuk dibenahi," kata Anggi dihubungi Media Indonesia, Jumat (19/7).

Ia bersama tim LIPI tahun lalu menerbitkan laporan riset mengenai kualitas sejumlah SMK di Jawa Barat dan Yogyakarta. Di Jabar, salah satu yang menjadi kajian ialah SMKN Peternakan Lembang dan SMKN 5 Pangalengan.

Berdasarkan hasil riset kualitatif yang dilakukan, tutur Anggi, kedua SMK terbilang cukup baik karena ekosistem link and match dengan industri, laboratorium, dan praktikum yang memadai.

Baca juga : Jumlah SMK akan Dikurangi

Persoalan berkisar pada aspek lain yakni rendahnya minat generasi muda terhadap peternakan.

"Tapi kenyataannya memang tidak semua SMK berjalan seperti itu. Banyak yang laboratorium dan praktikum tidak memadai sehingga seperti SMK rasa SMA," ucapnya.

Berdasarkan data BPS (2017), Jawa Barat memiliki pertumbuhan SMK tertinggi yakni hampir 3.000 sekolah. Di Jawa sendiri, ada sekitar 7.500 SMK. Jumlah itu mewakili 57% SMK di seluruh Indonesia.

Ia berpendapat persoalan link and match memang masih menjadi persoalan SMK secara keseluruhan. Persoalan lain yang tak kalah penting ialah mengenai tata kelola. Pasalnya, perubahan terkait kewenangan SMK di masa lalu menjadikan pengembangan tidak optimal.

Menurutnya, musabab mandeknya pengembangan SMK bermula dari bergesernya kewenangan SMK yang sebelum Undang-Undang Sisdiknas berada di kementerian/lembaga sektoral.

Anggi menyatakan kewenangan pengelolaan SMK (kecuali kedinasan) pada Kemendikbud (dulu Kemendiknas) setelah UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional kurang optimal karena satu kementerian melalui direktorat mengurusi SMK dengan berbagai bidang dan harus pula mengejar target pertumbuhan kuantitas.

Baca juga : Kota Tasikmalaya Tolak Wacana Pembubaran SMK

Setelah terbitnya UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah terbit, pengelolaan SMK berada pada pemda dan memunculkan masalah lagi.

"SMK saat ini ditangani pemerintah provinsi tetapi tidak semua provinsi memiliki visi yang memadai mengenai ke mana orientasi pendidikan vokasi mereka. Pemerintah provinsi harus dibantu oleh pemerintah pusat untuk membangun vokasi daerah," ujarnya.

Menurutnya, ke depan perlu koordinasi yang lebih intensif antara pemda dan pusat mengenai isu pembubaran SMK agar tidak memunculkan masalah lagi.

Ia pun berharap agar program revitalisasi SMK yang saat ini dijalankan sesuai Inpres 9/2016 tentang Revitalisasi SMK bisa optimal.

"Yang paling penting soal jejaring SMK-SMK yang terbatas dengan dunia usaha sehingga menyulitkan menempatkan siswa untuk magang di perusahaan yang tepat. Transfer skill maupun knowledge dari bidang yang digeluti harus dilakukan," ucapnya. (OL-7)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ghani Nurcahyadi
Berita Lainnya