Headline

Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.

Fokus

Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.

Ketika Perupa Merawat Perjuangan Hak Asasi Manusia

Galih Agus Saputra
02/6/2019 07:00
Ketika Perupa Merawat Perjuangan Hak Asasi Manusia
Lewat karya patungnya berjudul Touch Me If You Dare, Alfi ah ingin menawarkan solusi atas beberapa permasalahan yang dirasakan masyarakat, t(MI/GALIH AGUS SAPUTRA)

PADA suatu waktu, ada sebuah patung perempuan peninggalan peradaban di masa lampau. Patung itu dilarang tampil di ruang publik karena beberapa alasan dan kini disimpan di sebuah museum, di Cirebon.

Dramatisnya, ada anggapan yang berkembang di masyarakat jika ada orang atau perempuan yang memegang patung itu, ia akan melajang seumur hidup. Seorang perupa asal Bandung, Alfi ah Rahdini, kemudian melihatnya sebagai persoalan yang cukup janggal dan ia lantas mencoba membuat tiruannya agar dapat disaksikan banyak orang.

Setelah jadi, patung karya Alfiah itu kemudian diberi judul Touch Me If You Dare. Karya tersebut selanjutnya juga ia ikut sertakan dalam Kompetisi Seni Rupa Ruang Publik Omah Munir, yang mana pada bagian bawahnya terdapat tulisan demikian, ‘Awas jangan pegang patung ini nanti bisa susah jodoh. Apalagi anak gadis, nanti bisa jadi perawan tua. Tapi terserah sih’.

Lewat karya tersebut, Alfi ah ingin menyoroti persoalan atau hak dasar yang melekat pada diri manusia. “Saya ingin menawarkan solusi atas beberapa permasalahan yang dirasakan masyarakat, terutama di wilayah ruang publik, yaitu mengenai ruang publik yang baik melalui karya seni,” tuturnya.

Upaya Alfiah pun tampaknya membuahkan hasil. Kini patungnya dipajang di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Jakarta, yang mana orang-orang dapat menyaksikannya pada 23 hingga 29 Mei. Tidak hanya itu, karya Alfiah juga berhasil menduduki peringkat kedua dalam
kompetisi yang diinisiasi Yayasan Omah Munir, Institut Kesenian Jakarta (IKJ), dan Yayasan Tifa.

Kompetisi seni rupa ruang publik dengan tema Hak atas kehidupan yang layak itu, kata Dewan Pembina Yayasan Omah Munir, Suciwati,
diselenggarakan sebagai ajakan dukungan dan kepedulian kalangan seniman untuk mengampanyekan pemenuhan, perlindungan, dan penghormatan HAM di Indonesia. Kiranya ada 77 karya yang memenuhi kualifikasi panitia, yang kemudian dinilai dewan juri untuk dipilih 10 karya terbaik. Dari 10 karya terbaik itu pula terpilihlah tiga karya finalis yang merupakan pemenang Kompetisi Seni Rupa Ruang Publik Omah Munir, yang mana Alfiah ialah salah satu perupa di dalamnya.

Melalui karya-karya yang dihadirkan dalam kompetisi itu, menurut Suciwati, kalangan seniman sungguh- sungguh menunjukkan kepada publik bahwa persoalan hak atas kehidupan yang layak ialah realitas sosial hari ini. “Kalangan seniman sebagai bagian dari masyarakat
telah membuktikan bahwa seni sesungguhnya berpihak pada nilai dan semangat HAM serta menolak segala bentuk ketidakadilan dan penindasan. Ketika media advokasi HAM lainnya terbelenggu, diabaikan oleh negara, saat itulah seni bicara melalui karya-karyanya. HAM itu jantungnya seni sebab seni adalah suara nurani,” tutur Suciwati saat pembukaan Pameran Karya Kompetisi Seni Rupa Ruang Publik Omah Munir, di Perpustakaan Nasional, Jakarta, Senin (27/5).

Kembar yang berbeda

Sementara itu, ada dua perupa selain Alfiah yang berhasil meraih juara kesatu dalam kompetisi tersebut. Mereka perupa asal Jakarta, Dessy Wahyuni dengan karyanya berjudul Perjuangkan, Tumbuh, dan Berkembang, serta perupa asal Depok, Raymond Gandayuwana dengan karyanya For the Burnt Flower, I Race.

Salah satu pendiri Yayasan Tifa, sekaligus Anggota Dewan Juri Kompetisi Seni Rupa Ruang Publik Omah Munir, Debra H Yatim mengatakan, jika dewan juri pada mulanya cukup kesulitan kala memberikan penilaian terhadap dua karya tersebut. Pasalnya, keduanya memiliki bobot dan nilai yang sama sehingga tidak mudah untuk menentukan siapa pemenangnya. “Tetapi setelah melalui proses penilaian yang panjang,
kami dari dewan juri kemudian memutuskan bahwa keduanya adalah pemenang, mereka adalah the first twin,” tuturnya.

Namun, sekalipun Dessy dan Raymond telah ditetapkan sebagai ‘kembar pertama’, mereka berdua pada dasarnya memiliki idenya masing-masing dalam hal mencipta. Raymond di satu sisi, menyoroti memori advokasi terhadap persoalan HAM di Indonesia dan perjuangan atasnya. Sementara itu, Dessy melihat bagaimana perjuangan HAM di berbagai lini atau yang mana menjadi persoalan aktual di tengah-tengah masyarakat Indonesia hari ini.

Karya Reymond terbuat dari materi berupa plat atau besi dan kayu medium density board (MDF). Ia membuatnya dalam waktu 10 hari. Karya itu terdiri atas dua simbol utama, yaitu sepeda dan kelopak bunga. “Saya ingin mencoba mengingatkan tentang perjuangan. Makanya saya coba pilih bentuk sepeda karena di situ ada aktivitas mengayuh untuk terus maju dan sebelahnya ada bunga yang terinspirasi dari salah satu judul film dokumentasi Munir. Sepedanya sebagai simbol atau pusat perjuangan, sedangkan bunganya menjadi sebuah kenangan,” tutur perupa berkacamata itu, saat ditemui di sela-sela pameran.

Sementara itu, Dessy mengaku ingin mengungkapkan secara visual terkait dengan apa yang banyak ia saksikan di masa kini maupun sebelumnya. Semuanya barang tentu juga terkait dengan persoalan HAM di Indonesia, dari masalah anakanak, akses pendidikan maupun
kesehatan, hak bersuara atau berpendapat, hingga persoalan buruh, pun hak warga negara. Dari karya itu, Dessy berharap akan banyak orang yang terinspirasi dan menjadi semangat untuk memperjuangkan hak serta mengedukasi generasi yang akan datang.

Apabila dilihat secara saksama, karya Dessy itu sebenarnya lebih mirip dengan susunan kotak persegi atau kubus yang mana pada puncaknya terdapat simbol timbangan. Setiap kotak juga memiliki simbol dan maknanya masing-masing atau yang dalam pandangan Dessy
sebagai kreator, setiap kotak itu mewakili batasan atau ruang-ruang tertentu terkait dengan berbagai macam perjuangan HAM.

Menuju Omah Pepeling

Dessy menghabiskan waktu sekitar tiga minggu untuk mewujudkan karyanya. Satu minggu ia habiskan untuk membuat maket kecil, kemudian dua minggu berikutnya ia fokuskan untuk membuat maket besar. Secara keseluruhan, materi karya itu terdiri atas akrilik, tetapi menurut Dessy, kalau nantinya memang hendak diwujudkan menjadi sebuah bangunan besar, ia ingin memakai bahan yang terbuat dari logam antikarat (stainless steel).

“Bisa dipakai di indoor atau outdoor. Kalau dilihat di sini, kan ada ruang-ruang yang bisa digunakan sebagai pusat pembelajaran, ada
ruang-ruang yang nantinya anak-anak atau orang dewasa bisa masukkeluar. Jadi, harapannya ya semoga karya ini bisa bermanfaat bagi masyarakat. Cita-citanya sih seperti itu,” imbuh Dessy.

Sama halnya dengan karya Alfiah, baik karya Dessy, Raymond, maupun sejumlah karya peserta Kompetisi Seni Rupa Ruang Publik Omah Munir lainnya, nantinya akan diboyong ke Museum Omah Munir, di Batu, Jawa Timur. Meski demikian, karya tersebut belum dapat segera dipajang di sana lantaran Museum Omah Munir saat ini sedang direvitalisasi menjadi Omah Pepeling.

Omah Pepeling atau yang berarti Rumah Cahaya ialah konsep baru dari gedung Museum HAM Omah Munir. Konsep itu diambil dari pemenang Kompetisi Desain Museum HAM Omah Munir yang diselenggarakan beberapa waktu lalu oleh Yayasan Omah Munir bersama
Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Kota Malang. Omah Pepeling diharapkan dapat menjadi sumber cahaya bagi tegaknya HAM di Indonesia. (M-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Kardashian
Berita Lainnya