Headline
Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.
Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.
PSIKOLOG Liza Marielly Djaprie mengatakan kekerasan verbal beririsan dengan kekerasan psikologis yang dampaknya lebih buruk dari kekerasan fisik yang bekasnya terlihat dan bisa disembuhkan dengan obat-obatan.
Kekerasan verbal, kata Liza, akan membutuhkan waktu pemulihan yang cenderung lama melalui terapi dan pendampingan, karena sifatnya yang abstrak.
"Biasanya kekerasan verbal itu nempel dengan kekerasan psikologis atau psikis. Jadi, karena diejek terus-terusan akhirnya psikologisnya terganggu. Kenapa kemudian terkadang berdampak buruk daripada kekerasan fisik? Karena dilakukannya pelan-pelan tapi sering dan kemudian lebih tidak berbentuk," kata Liza, ketika dihubungi, Selasa (9/4).
Ia menjelaskan seseorang yang sering melakukan kekerasan verbal pada masa lalunya cenderung mengalami kejadian yang tidak mengenakkan, seperti bullying dan ejekan.
"Bisa jadi punya trauma pada zaman dahulu kala, entah itu pola asuh tidak baik, atau bullying, kemudian melampiaskan dengan cara verbal, bisa seperti itu," kata Liza.
Baca juga: Pola Asuh Bisa Sebabkan Anak Jadi Pembully
Liza mengatakan dengan trauma itu, ketika menemukan orang yang cenderung lemah darinya, lantas langsung melampiaskan dengan kata-kata kasar dan merendahkan orang lain.
Selain itu, ia mengatakan dengan trauma masa lalu yang telah dipendam dalam jangka waktu yang lama menyebabkan kekerasan secara verbal itu terjadi secara meletup-letup.
Di samping itu, ia menilai kekerasan verbal dilakukan agar mendominasi di lingkungan. Tidak jarang, untuk mempercepat proses dominasi, kekerasan verbal dibarengi juga dengan kekerasan fisik.
Lebih lanjut, ia menilai orang yang melakukan kekerasan verbal juga mengalami krisis kepercayaan diri.
Menurutnya, orang yang demikian butuh sebuah pelampiasan agar dia merasa percaya diri. Dengan salah pola asuh tadi, kata ia, maka cenderung orang melampiaskannya melalui kekerasan verbal.
"Mungkin dulunya krisis kepercayaan diri, karena tidak percaya pada diri, dia merasa perlu untuk menyakiti orang secara verbal," kata Liza. (OL-2)
Studi menunjukkan semakin banyak waktu yang dihabiskan remaja di media sosial, semakin besar kemungkinan mereka mengalami perundungan terkait berat badan.
Anak harus memahami dan menghargai diri dan lingkungan serta mengetahui konsekuensi hukum dan akibat dari kekerasan/perundungan.
Anak yang menjadi korban perundungan biasanya menjadi lebih pendiam atau tertutup dan menunjukkan sikap yang berbeda dari kebiasaannya.
Orangtua juga bisa memberikan contoh nyata dari keberanian dalam menolak tindakan yang salah serta memberikan dukungan jika anak menghadapi situasi sulit.
Salah satu tanda yang mungkin bisa lanjut diperhatikan oleh orangtua yakni anak sering menunjukkan perilaku agresif
Anak-anak yang melakukan perundungan kebanyakan hanya ingin menyesuaikan diri, membutuhkan perhatian hingga mencari tahu bagaimana menghadapi emosi yang rumit
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved