Headline

Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.

Fokus

PSG masih ingin menambah jumlah pemain muda.

Kopi Veteran yang Melintas Zaman

Despian Hidayat
26/1/2019 08:10
Kopi Veteran yang Melintas Zaman
Kopi Es Tak Kie yang berdiri sejak 1927 masih digemari hingga kini(MI/DESPIAN NURHIDAYAT)

BUKAN cuma mencari cita rasa, gaya hidup minum kopi di Indonesia juga terbentuk seiring kebutuhan sosial masyarakat. Ada yang demi kehangatan kongko, sejumput nostalgia, atau sekadar cermin kekinian.

Sebab itu, kafe dan warung yang tumbuh di nusantara sebe ragam pasarnya itu sendiri. Lewat tempat-tempat ngopi ini pula warna-warni cerita Indonesia tersaji. Merayakan ulang tahun ke-49, Media Indonesia mengajak pembaca untuk ikut menyeruput keragaman gaya hidup kita lewat beberapa warung dan kafe kopi istimewa. Berikut kisah mereka.

KEDAI itu memang berada di sebuah gang, tetapi popularitasnya bahkan sudah membuat orang nomor satu di negeri ini menyambanginya. Itulah Kedai Kopi Es Tak Kie yang berada di Gang Gloria, Jalan Pintu Besar Selatan 2, Taman Sari, Jakarta Barat.

Setelah berdiri pada 1927, kedai kopi itu pernah kedatangan Presiden Joko Widodo saat masih menjabat Gubernur DKI Jakarta. Foto Jokowi yang datang dengan baju kotak-kotak khasnya terpajang di kedai tersebut, berjajar dengan foto-foto selebritas, salah satunya grup musik Project Pop. Foto itu bersanding dengan foto perjalanan kedai itu sejak era foto hitam-putih dan juga potongan artikel berbagai media.

Suasana di kedai yang berada di belakang Hotel Pancoran Jaya itu pun tidak kalah mengagumkan, dalam arti pembeli yang tidak pernah surut. Seperti terlihat pada Jumat (18/1) siang, pelayan dan kasir sama-sama sibuk.

Mereka yang sudah selesai ngopi juga terlihat tidak ingin segera beranjak. Padahal, tampilan kedai itu jauh dari gaya kafe kopi masa kini yang dilengkapi sofa empuk dan fasilitas wi-fi.

Baik bangunan maupun meja dan kursi interior di kedai itu tampak masih merupakan peninggalan tempo dulu. Meja dan kursinya terbuat dari kayu dengan desain lawas sederhana.

Kesederhanaan juga terlihat pada lantai dengan keramik bernuansa hijau putih dan dapur bergaya terbuka di balik jendela besar. Di atas jendela dapur itulah tergantung tulisan besar 'Kopi es TAK KIE' yang disertai dengan tulisan Mandarin di bagian bawahnya.

Yang melengkapi suasana itu ialah seorang pria baya yang duduk di balik meja kayu kasir yang mengingatkan pada guru yang tidak terganggu oleh suasana ricuhnya kelas.

Meski begitu, pengunjung yang datang bukan hanya kalangan baya. Bahkan tidak jarang terlihat generasi milenial menanti dengan sabar untuk bisa mendapat tempat di kedai kopi yang memang makin sibuk di jam makan siang itu.

Salah satu pelanggan Kedai Kopi Es Tak Kie ialah Regi. Ia mengaku sudah beberapa kali datang ke tempat itu dan juga sangat menyukai es kopi tak kie. "Kopinya sangat enak, mengingatkan saya dengan kopi susu saset grade AA. Saya pikir orang-orang datang ke sini memang sangat tertarik dengan kopinya. Sangat enak kopinya," ungkapnya kepada Media Indonesia.

Merambah mal
Nikmat tanpa banyak macam, mungkin begitulah yang tepat menggambarkan sajian kopi kedai itu. Pasalnya varian yang ditawarkan hanya dua pilihan, yakni kopi hitam atau kopi susu; dengan atau tanpa es.

Pilihan kopi susu akan disajikan dengan susu yang belum diaduk. Jadi, terlihat jelas susu kental yang berkumpul di dasar gelas.

Pilihan kopi es tampak yang jadi favorit pilihan pengunjung di siang hari. Memang kesegarannya mampu menghilangkan dahaga sekaligus menyejukkan suasana terik Jakarta.

Kopi susu itu cukup dibayar dengan Rp20 ribu sementara untuk kopi hitamnya Rp18 ribu. Harga yang bisa dikatakan standar untuk sajian kopi.

Latif Yunus, generasi ketiga pemilik kedai itu, menuturkan usaha mereka diawali sang kakek yang bernama Liong Kwie Tjong. Pada awalnya usaha kedai itu berbentuk kaki lima dengan yang mangkal tidak jauh dari seputaran Glodok. Sekitar 1930, barulah Liong Kwie Tjong yang merantau dari Kanton membeli sepetak bangunan di Gang Gloria tersebut.

Hingga sekarang, para keturunan Liong Kwie Tjong masih kompak mengelola usaha kopi itu dan telah memiliki peran masing-masing. Sementara Latif bertindak sebagai kasir, ada saudaranya yang mengurus pembelian bahan baku hingga perluasan bisnis.

Generasi keempat atau generasi anak Latif juga telah membuat Kedai Kopi Es Tak Kie merambah mal dan pemasaran melalui bazar-bazar. "Waktu (kedai ini) berdiri, saya juga belum lahir sebenarnya. Saya generasi ketiga yang mejalankan ini. Sekarang sih udah bukan di tempat ini aja, udah buka di mal, ikut-ikut bazar gitu, ya gitulah yang jalanin kayak gitu generasi keempat," ungkap Latif.

Meski sudah hadir di mal dan sudah dapat dipesan melalui layanan ojek daring, Latif mengungkapkan keikutsertaan generasi keempat dalam bisnis tersebut juga belum dapat terus dipastikan. Ia hanya bisa berharap perluasan bisnis itu berlangsung langgeng sehingga usaha kopi tersebut nantinya tidak hanya tinggal sejarah.

Walau berharap panjang, Latif tidak mengubah operasional di kedai agar lebih modern. Jam operasional pun dipertahankan hanya hingga pukul 14.00 WIB. Hal itu dilakukan karena memperhitungkan puncak kedatangan pengunjung. Di jam-jam selanjutnya, dengan pengunjung yang sudah berkurang, ia lebih memilih mengakhiri jam operasional. (M-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Panji Arimurti
Berita Lainnya