Headline
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
KETIKA kampanye makan terus digencarkan berarti pula pasokan ikan yang harus terjamin. Namun, kondisi penangkapan berlebih, terutama untuk komoditas tuna, membuat perikanan tangkap tidak selalu dapat menjadi tumpuan pasokan ikan. Sebab itu pula perikanan budi daya terus digenjot.
Di sisi lain, perikanan budi daya sering dikeluhkan tidak ramah lingkungan karena borosnya penggunaan air dan limbah dari pakan ikan.
Untuk menjawab tantangan itu Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyosialisasikan teknologi recirculating aquaculture system (RAS).
Teknologi tersebut telah beberapa waktu dijalankan di Unit Pembenihan Rakyat (UPR) di desa wisata Bokasen, Cangkringan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dirjen Perikanan Budi Daya KKP Slamet Soebjakto menjelaskan jika teknologi tersebut dapat menjawab tiga tantangan perikanan budi daya, yakni keterbatasan lahan, keterbatasan kualitas dan volume air, serta peningkatan produktivitas.
Memang kelebihan dari teknologi RAS itu adalah penggunaan efisien terhadap air, juga lahan. Produktivitasnya juga meningkat 100 kali lipat," terangnya.
RAS merupakan sistem budi daya ikan secara intensif dengan menggunakan infrastruktur yang memungkinkan pemanfaatan air secara terus-menerus (resirkulasi air). Teknologi RAS menggunakan filter fisika, filter biologi, ultraunggu (UV), dan oksigen generator. Itu semua diperlukan untuk mengontrol dan menstabilkan kondisi lingkungan ikan, mengurangi jumlah penggunaan air, dan meningkatkan tingkat hidup ikan.
Prinsip dasar RAS, yaitu memanfaatkan air media pemeliharaan secara berulang-ulang dengan mengendalikan beberapa indikator kualitas air agar tetap pada kondisi prima.
"Air bersih masuk lagi. Jadi enggak ada air yang terbuang sama sekali. Jadi air menggalir terus, memutar terus. Itulah yang dikatakan efisien," tambah Slamet.
Kelebihan lain, menurut Slamet, yakni budi daya dengan sistem ini sangat menghemat penggunaan air, dan dapat dilakukan pada areal yang terbatas. Disamping itu, penggunaan teknologi RAS akan memberikan jalan keluar atas tantangan perikanan budidaya seperti perubahan iklim dan kualitas lingkungan.
"Pasti lebih ramah (lingkungan) karena kita tidak membuang limbah. Airnya memutar terus. Seandainya buang air pun, air yang sudah bersih, memang air yang sudah tidak menggandung limbah," ungkapnya.
Berbeda dengan Biofolk
Cara kerjanya, air akan mengalir dari bak pemeliharaan langsung ke protein skimmer untuk menetralisir amonia dan limbah lain. Air dimasukkan lagi ke filter biologi setelah melewati filter fisik. Setelah itu barulah keluar air bersih. Dengan cara itu, air tidak perlu diganti. Tidak perlu mengganti air juga menjadi kelebihan dari teknologi RAS.
"Kalau teknologi bukan RAS itu mereka harus ganti air sehingga buang air," tegas Slamet.
Teknologi RAS berbeda dengan bioflok yang juga diklaim hemat air. Bioflok adalah pemanfaatan bakteri pembentukan flok untuk pengolahan limbah. Sedangkan prinsip sistem resirkulasi ialah penggunaan kembali air yang telah dikeluarkan dari kegiatan budi daya.
"Beda enggak bisa disamakan. Kalau RAS itu terkait dengan metode untuk menjernihkan air, memulihkan air dengan memutar. Kalau bioflok itu teknologi yang hemat air juga, tetapi mereka menggunakan probiotik bakteri, sedangkan dalam teknologi RAS, probiotik atau bakteri yang positif itu timbul di biofilter, di bioball, timbul bakteri secara alami," terang Slamet.
Slamet juga menjelaskan bahwa keunggulan sistem RAS jika dibandingkan dengan sistem konvensional, yakni mampu menghasilkan produktivitas yang jauh lebih tinggi. Sebagai ilustrasi, padat tebar nila mampu digenjot hingga mencapai 5.000 ekor/meter kubik, sedangkan padat tebar pada sistem konvensional hanya mencapai 50 ekor/meter persegi. Artinya, dengan penerapan system RAS ini produktivitas bisa digenjot hingga 100 kali lipat dibanding dengan sistem konvensional.
"Teknologi RAS bisa meningkatkan 100 kali lipat dari teknologi biasa, produktivitasnya," tegasnya.
Meski punya beragam kelebihan, teknologi masih diterapkan di balai perikanan milik KKP. Teknologi tersebut belum diterapkan secara luas, masih sangat terbatas sebab diperlukan penerapan yang lumayan rumit dan biaya yang tidak sedikit.
"Ini dibutuhkan peralatan yang complicated (rumit), seperti protein skimmer, kalau perlu ditambah oxygenizer-nya untuk mensuplai oksigen, diperlukan lagi biofilternya. Itu kan perlu biaya," terang Slamet.
Meski demikian, teknologi RAS nantinya akan diperluas sampai ke masyarakat ketika sudah bisa diterapkan dalam skala rakyat. Balai Perikanan juga berusaha untuk menerapkan teknologi RAS secara sederhana dan murah. Inilah yang akan diaplikasikan masyarakat.
"Mungkin ini setelah kita uji coba yang diterapkan di masyarakat sudah mulai nampak ada hasilnya, tidak ada kendalanya, dan terjangkau oleh masyarakat. Kita akan luncurkan," janji Slamet.
Berbincang soal biaya, teknologi RAS ternyata juga besar biayanya. Jika semua peralatan dibeli dan mengikuti standar pabrikan, biaya yang dibutuhkan bisa mencapai ratusan juta.
"Kalau semua beli dari parbrikan menyangkut protein skimmer, oxygenizer, termasuk bioball, bak-bak. Itu bisa mencapai 600-700 jutaan. Mahal. Makanya itu sekarang kita kembangkan untuk skala rakyat," ujarnya.
Teknologi RAS juga telah banyak diterapkan di negara lain, seperti Norwegia dan Jepang. Norwegia menerapkan teknologi RAS untuk pendederan ikan salmon sebelum dialihkan ke keramba apung, sedangkan di Jepang, teknologi RAS dipakai untuk budi daya ikan sebelah.
"Kalau di luar negeri saya kira sudah digunakan teknologi RAS ini," ujarnya.
Menurut Slamet, teknologi RAS cocok untuk beragam jenis ikan, baik ikan laut maupun ikan darat. Cocok pula untuk budidaya ikan dari pendederan benih sampai ukuran konsumsi.
"Semuanya pada prinsipnya cocok untuk pembuatan pendederan sampai dengan pembesaran. Sepertinya cocok," pungkasnya.
Konsumsi ikan Indonesia pada 2017 mencapai 46 kg/kapita/tahun, naik dari 2016 sebesar 44 kg/kapita/tahun, sedangkan dua tahun sebelumnya 2015 dan 2014 masing-masing 41,1 kg/kapita/tahun dan 38,14 kg/kapita/tahun. Bahkan, angka itu akan dinaikkan menjadi 50 kg/kapita/tahun pada 2019.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved