Masuknya rokok kretek tradisional sebagai salah satu bagian dari warisan budaya di draft RUU Kebudayaan yang tengah dibahas Badan Legislasi DPR RI mendapat kritikan dari sejumlah pihak.
Salah satunya adalah Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah. Wakil Ketua Hubungan Luar Negeri PP Muhammadiyah Sudibyo Markus mengatakan upaya "menyelundupkan" pasal tentang kretek sebagai warisan budaya yang harus dilindungi dalam RUU Kebudayaan dinilai sebagai pembodohan terhadap masyarakat.
"Bila memasukkan pasal kretek justru akan membiarkan generasi muda sebagai sasaran industri rokok," ujar Sudibyo, Minggu (27/9).
Adapun, dalam draft RUU Kebudayaan, kretek tradisional masuk dalam Pasal 37 ayat 1 tentang penghargaan, pengakuan dan perlindugan sejarah serta warisan budaya. Penjelasan pasal kretek ini ada dalam Pasal 49.
Karena merupakan warisan budaya, pemerintah diminta membuat inventarisasi dan dokumentasi; memfasilitasi pengembangan kretek tradisional; mensosialisasinya, mempublikasikan, dan mempromosikan kretek tradisional. Pemerintah juga wajib membuat festival kretek tradisional dan melindunginya.
Ia melanjutkan, penyebutan kretek harus dimaknai sebagai satu kesatuan antara tembakau sebagai bahan baku pokok dan cengkih sebagai bahan tambahan. Menurutnya, penambahan cengkih tidak kemudian memberikan makna sebagai warisan budaya, meskipun cengkih merupakan salah satu rempah-rempah andalan Indonesia yang menarik penjajah datang ke kawasan Nusantara.
"Tembakau, jelas dipahami sejak awal sebagai daun yang mengandung nikotin. Nikotin merupakan zat adiktif yang memberikan efek ketergantugan dan bisa merusak mental," tegasnya.
Meskipun Presiden RI Joko Widodo telah mencanangkan Indonesia darurat narkoba, tetapi menurutnya hal itu tidak cukup. Ia mengatakan Indonesia juga sekaligus darurat ancaman minuman keras dan rokok.
Ia memaparkan fakta bahwa produksi rokok nasional 360 miliar batang dalam setahun, bila dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia 240 juta orang sungguh merupakan sinyal kuat bagi upaya pengendalian tembakau di Indonesia.
"Tidak seharusnya kepentingan petani tembakau diadu dengan kepentingan kesehatan. Menjadi tugas negara dan Pemerintah untuk melaksanakan harmonisasi antara kepentingan petani tembakau dengan kesehatan,"pungkasnya.
Secara terpisah, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Firman Soebagyo mengatakan pada dasarnya membuat sebuah UU tidak boleh diskriminatif. Adanya Pasal Kretek tersebut dalam RUU Kebudayaan dimaksudkan utuk melindungi petani tembakau. Firman menjelaskan, saat ini harga tembakau hancur di pasaran. Hal ini disebabkan tidak adanya pihak yang sungguh-sungguh membela petani.
Usulan soal kretek sebagai warisan budaya, menurut Firman, adalah upaya menampung berbagai usulan yang diberikan oleh masing-masing fraksi di DPR RI.Politisi Partai Golkar ini sepakat dengan upaya perlindungan kesehatan masyarakat namun demikian menurutnya upaya ini tidak boleh mengorbankan anggota masyarakat yang lain.
"UU dibuat untuk memberikan kekosongan hukum bagi masyarakat. UU tidak boleh diskriminatif. Petani tembakau harus dilindungi. Silakan para dokter mengaturnya di UU Kesehatan. Jangan mematikan industri tembakau dengan dalih kesehatan. Jangan kita selalu berfikir negatif. Sama saja dengan ponsel, dampaknya bisa positif dan negatif. Negatif kalau digunakan untuk bisnis prostitusi. Tergantung manusianya," papar Firman.
Ia menjelaskan masuknya pasal kretek di RUU Kebudayaan sudah menjadi perdebatan panjang pada saat pembahasannya. Firman tidak sependapat bila pasal kretek disebut pasal selundupan seperti yang banyak diberitakan. Ia menegaskan, DPR RI tidak dapat diintervensi oleh siapapun dalam membuat UU. Menurut Firman, semua fraksi di Baleg setuju dengan adanya pasal kretek di RUU Kebudayaan.
"Kami tidak sepakat bila itu disebut pasal selundupan. Penyusupan itu kan kalau sudah disahkan di paripurna, lalu tiba-tiba ada penambahan pasal. Tidak ada penyusupan seperti yang diberitakan. Secara transparan, kami diskusikan dengan Komisi X dan Baleg saat harmonisasi," tandasnya.
Saat ini, draft RUU Kebudayaan sudah selesai dibahas di Komisi X yang membidangi kebudayaan dan kemudian dibawa ke Badan Legislasi sebelum dibawa ke sidang Paripurna DPR RI. Perjalanan RUU Kebudayaan ini masih panjang. Bila sudah dibawa ke paripurna, rancangan ini masih akan dibahas lagi bersama dengan Pemerintah. Para pakar dan budayawan juga akan diundang untuk dimintai pendapatnya.
"Hari Selasa (29/9) mendatang, kita akan undang petani tembakau. Selain itu kita akan undang juga budayawan seperti Butet Kartaredjasa dan Mohammad Sobari, kita akan tanya bagaimana pendapatnya. Kretek tradisional punya keunikan. Jangan sampai ini dipatenkan oleh orang lain dan kita nantinya harus bayar royalti ke luar negeri," pungkas Ketua Panja Harmonisasi RUU Kebudayaan ini.
Senada dengan Firman, Anggota Baleg dari Partai NasDem, Bachtiar Aly juga mengatakan fraksinya mendukung pasal kretek masuk dalam RUU Kebudayaan. Ia juga menegaskan bahwa pasal kretek bukan pasal selundupan karena dibahas secara terbuka oleh Baleg.
"Kalau semangat anti tembakau begitu kuat, maka yang terancam adalah petani kretek. Saya bukan perokok, tapi saya juga tidak rela perempuan di tanah Jawa kehilangan pekerjaannya," ungkapnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi X DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Abdul Kharis Almasyhari menolak masuknya rokok ke dalam aturan resmi perundang-undangan Indonesia. Menurutnya, lewat konsep kretek, substansi rokok sudah muncul dalam naskah RUU Kebudayaan yang sedang dibahas DPR.
Dia mengakui, kretek merupakan salah satu tradisi karena hanya ada di Indonesia. Campuran tembakau dan beberapa herbal seperti cengkeh yang dibakar dan dihisap sebagai rokok memang merupakan peninggalan tradisi bangsa. Ia mengajak masyarakat untuk mengkaji dan memperdalam dampak yang mungkin terjadi bila pasal tentang kretek dicantumkan dalam RUU Kebudayaan. Ia berpendapat, tradisi yang membawa dampak negatif bagi generasi bangsa lanjutnya, tidak perlu dipertahankan.
Ia meminta agar pemerintah dan DPR mendorong dan melindungi tradisi-tradisi nasional yang membawa dampak positif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan sebaliknya.
“Meski tradisi Indonesia, kretek seharusnya tidak masuk dalam RUU Kebudayaan. Sebab kretek dapat mengakibatkan dampak negatif bagi generasi bangsa. Nanti juga bisa ada yang meminta ganja dan tuak dimasukkan dalam RUU Kebudayaan dengan alasan warisan tradisi. Di beberapa bagian masyarakat Indonesia, penggunaan ganja dan tuak juga bagian dari tradisi. Ada masyarakat yang menggunakan daun ganja sebagai bumbu masakan dan ada pula yang meminum tuak,†pungkasnya.(Q-1)