Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan pendapatnya terkait pembangunan dan persoalan lingkungan yang ada di Indonesia kepada masyarakat sipil yang hadir di New York untuk berpartisipasi dalam mengawal agenda pembangunan pasca 2015 (Sustainable Development Goals) di kantor Perwakilan Tetap Republik Indonesia untuk PBB, Sabtu (26/9).
Pembangunan Indonesia selanjutnya harus berorientasi pada penyelesaian akar masalah. Hal ini diungkapkan Wapres dengan ilustrasi isu kesehatan.
"Negara harus fokus memastikan hidup yang sehat bagi warga Negaranya dan bukan bertitik berat pada penyediaan obat-obatan bagi warga yang sakit yang berujung pada proyek-proyek pengadaan peralatan kesehatan," ujarnya seperti dalam rilis yang diterima Media Indonesia, Minggu (27/9).
Hadir pada pertemuan tersebut beberapa perwakilan organisasi masyarakat sipil di antaranya Infid, Walhi, debtWatch Indonesia, Koalisi Perempuan Indonesia, Prakarsa, Migrant Care, Transparency International Indonesia.
Selanjutnya Wakil Presiden Jusuf Kalla juga menekankan bahwa perluasan lahan (ekstensifikasi) harus tidak menjadi pilihan pembangunan.
“Seperti yang saya sudah sampaikan di forum Kadin beberapa waktu yang lalu, kita harus mendorong intensifikasi dan bukan ekstensifikasi. Ada kebijakan yang sedang dipersiapkan. Tidak ada lagi buka lahan untuk meningkatkan produksi. Tidak boleh ada lagi eksploitasi terhadap kawasan gambut. Asap adalah bukti masalah tata kelola hutan dan lahan di Indonesia, bagaimana hutan dirusak dan lahan gambut dibongkar,†jelasnya.
Wakil Presiden juga menekankan pentingnya mengambil langkah tegas dan hati-hati dalam pembangunan selanjutnya.
“Kita (Indonesia) sudah pernah kalah 3 kali. Di hutan, batu bara, dan sawit. Jangan sampai terulang lagi,†jelasnya.
Direktur Eksekutif Nasional Walhi Abetnego Tarigan dalam responnya pascapertemuan dengan Wapres.
“Problem paradigma pembangunan dan tata kelola ditangkap dengan baik oleh Wapres dalam melihat SDGs. Pilihan untuk meninggalkan ekonomi berbasis lahan dalam skala besar merupakan pilihan yang tepat karena kerusakan lingkungan dalam skala luas akan membuat pertumbuhan ekonomi yang tidak berkualitas. Penerimaan negara dari sektor ekonomi berbasis lahan sudah tergerus karena penanganan kerusakan lingkungan yang terjadi. Belum lagi beban pemulihan lingkungan. Seperti asap yang terjadi hari ini,†ujarnya.
Pemerintah berambisi untuk memenuhi target 20% amanat UUD 45 untuk sektor pendidikan. Ekonomi berbasis lahan skala besar juga tidak memberikan ruang bagi sumber daya manusia yang terampil dan berpendidikan karena yang dibutuhkan untuk industri model ini adalah tenaga kerja kasar, seperti yang dibutuhkan di perkebunan sawit adalah buruh tanam, buruh pupuk, dan buruh panen.
“Persoalan lingkungan dan desain model perekonomian ini menyebabkan masih banyaknya rakyat miskin ditengah eksploitasi sumber daya alam,†demikian Abetnego.
Pada saat yang sama, terkait dengan tujuan pembangunan berkelanjutan ke 14, disampaikan juga pentingnya pemerintah untuk melindungi ekosistem pesisir di tengah maraknya ancaman proyek-proyek reklamasi di pesisir Indonesia, seperti yang tengah terjadi di Bali, Makassar dan Jakarta.
“Bagi kami, proyek-proyek reklamasi di pesisir Indonesia akan menghambat salah satu tujuan pembangunan yang menjadi komitmen Indonesia dalam SDGsâ€, tegas Abetnego. (Q-1)