Organisasi Islam Harus Kerja bagi Kesejahteraan Umat
Arif Hulwan
06/9/2015 00:00
(KH Said Agil Siraj. --(MI/Susanto))
Bukan waktunya lagi berkutat di perdebatan dangkal soal perbedaan pandangan keagamaan. Organisasi berbasis keislaman mesti bekerja meningkatkan ekonomi rakyat yang tengah kepayahan.
Pengelolaan sumber daya alam untuk kepentingan bersama pun didorong. Jika tidak, bersiaplah pada kemunculan radikalisme baru.
Pesan itu muncul dalam pengukuhan Pengurus Besar Nadlatul Ulama Periode 2015-2020, di Masjid Istiqlal, Jakarta, Sabtu (5/9).
Menurut Ketua Umum Tanfidziyah (Dewan Pelaksana) PBNU Said Aqil Siradj, sebuah organisasi, dan juga negara, takkan bermakna tanpa memperjuangkan tiga hal. Pertama, adanya komitmen untuk mengentaskan kemiskinan.
"Gerakan keislaman perlu difokuskan untuk menghadirkan kesejahtaraan. Kemiskinan akan mendorong umat jadi dekat kekufuran," cetus dia.
Menurut Said, yang perlu dikritisi adalah pengelolaan sumber daya alam. Sebab ada paradoks bahwa rakyat Indonesia miskin di tengah kekayaan alamnya.
Di sisi lain, sumber kekayaan alam yang terdiri dari atas air, energi, dan hutan, sesuai sabda Nabi Muhammad, tak boleh dimonopoli sekelompok orang. Ia pun mendorong Pemerintah untuk mengelola itu bagi kepentingan warga.
"Intinya bukan cuma pertumbuhan ekokomi yang dikejar, tapi yang lebih penting lagi adalah pemerataan," ia menekankan.
Jika Pemerintah masih tetap berpihak pada cara pengelolaan SDA yang kapitalistis, Said mengaku tak heran jika kerusakan tinggal menunggu waktu.
"Sekiranya kebenaran dikalahkan oleh hawa nafsu, keserakahan ketamakan, niscaya rusaklah semua yang di langit dan di bumi dan segala isinya," cetus petahana Ketua Umum PBNU itu, mengutip surat Al-Mukminun ayat 71.
Selain itu, dua komitmen lain yang perlu hadir dalam sebuah organisasi adalah memberikan harapan baru lewat pencerdasan kader atau rakyatnya, serta komitmen menjadi mediator atau penengah di tiap konflik kebangsaan.
Dalam sambutannya di acara yang sama, Wapres Jusuf Kalla bersyukur bahwa perbedaan-perbedaan pandangan keagamaan yang masih sering terjadi di Indonesia tak memicu perpecahan berdarah laiknya di Timur Tengah. Ini didukung pula dengan stabilitas politik yang kini terjaga dari isu besar.
"Tapi kita harus atasi satu hal, ketertinggalan, yang apabila tidak (diatasi) akan jadi radikalisme kapital salah satu pihak," dia mengingatkan.
Yang dimaksud radikalisme kapital, jelasnya, adalah upaya penguasaan sumber-sumber kekayaan negara dengan jalan kekerasan.
JK mencontohkan itu dengan apa yang terjadi di Irak dan Syiria. Pihak asing yang hendak menguasai kekayaan alam kedua negara itu dengan mudah menggunakan kekuatan di luar sistem untuk mengoyak pemerintahan yang sah.
Radikalisme kapital itu, lanjutnya, adalah salah satu dari empat jenis ekstrimisme yang harus diwaspadai Indonesia serta ormas-ormas keagamaan seperti NU.
Hal lainnya adalah radikalisme berbasis ideologi keagamaan seperti Negara Islam Irak-Suriah (ISIS), radikalisme politik atau keinginan berkuasa dengan menggunakan jalan kekerasan. Di luar itu, ancaman terakhir adalah cuaca ekstrim yang mengancam alam di masa depan.
Untuk mencegah semua radikalisme itu terjadi di Indonesia, JK meyakinkan bahwa pemerintah tengah bekerja keras bagi masyarakat. Misalnya, pembangunan infrastruktur yang dilakukan dari tingkat desa lewat program Dana Desa.
Wapres pun meminta dukungan NU menyukseskan program-program Pemerintah. Terlebih, kantung-kantung NU banyak di tingkat desa.
"Karena itulah NU ke depan bukan hanya berbicara tentang sholawat, istighosah, dalam artian agama, tapi mari kita beristighosah akan kemakmuran, tentang bagaimana bekerja keras dalam bidang pertanian, perdagangan, dan sebagainya. Karena hanya itu cara yang dapat mengatasi tantangan ketertinggalan," tandas JK.
Pengukuhan Pengurus Besar NU hasil Muktamar NU ke-33 di Jombang, Jawa Timur, itu dilakukan oleh Rais Aam Syuriah (Ketua Dewan Penasehat) PBNU Ma'ruf Amin dan dihadiri seluru jajaran PBNU. Selain itu tampak hadir pula Ketua MPR sekaligus Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan dan Menpora Imam Nahrowi. (Q-1)