Headline

Penaikan belanja akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 5,4%.

Sumpah Pemuda: Kita Adalah Saudara

(BPIP/DJIKP)
29/10/2018 08:00
Sumpah Pemuda: Kita Adalah Saudara
(Antara)

KOHESITAS sosial bangsa Indonesia akhir-akhir ini terganggu. Rasa sebagai saudara "sebangsa dan setanah air" ternodai oleh kebencian dan prasangka. Dalam konteks yang semacam ini memaknai kembali peristiwa Sumpah Pemuda kedua sebagai simpul membangun dimensi kebangsaan menjadi relevan.

Kerapatan Anak Muda
Sembilan dasawarsa yang lalu sekelompok pemuda terpelajar berjuang mengadakan rapat. Berkat perjuangan mereka "Manifesto politik" yang digelorakan Perhimpunan Indonesia di negeri Belanda (1925) berhasil memperoleh pijakan sekaligus wadah keindonesiaan yang makin riil di negerinya sendiri.

Panitianya meliputi Soegondo Djojopoespito (PPPI), Djoko Marsaid (Jong Java), Moehammad Yamin (Jong Sumateranen Bond) dan Amir Sjarifuddin (Jong Batak), Djohan Mohammad Tjai (Jong Islamieten Bond), Katjasoengkono (Pemoeda Indonesia), Senduk (Jong Celebes), J. Leimena (Jong Ambon) dan Rohjani (Pemoeda Kaoem Betawi).

Kaum elit terpelajar yang jumlahnya tidak banyak ini dialog tentang tantangan zamannya. Sebuah keberanian "moral" di tengah kepungan suasana kolonial yang eksploitatif, diskriminatif serta intimidatif. Terbiasa dalam dunia "pergerakan" mereka berani keluar dari batas kebiasaan dan imaginasi pemuda zamannya.

Usia mereka masih dalam kisaran "likuran" (20-29 tahun). Mereka sudah berhasil berpikir dan memperjuangkan visi persatuan kebangsaan. Kerapatan yang kemudian lebih dikenal dengan kongres pemuda II tersebut menghasilkan rumusan "sumpah pemuda" yang fenomenal dan visioner.  Bertanah air satu, tanah air Indonesia; berbangsa satu bangsa Indonesia dan menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Sebelumnya dalam pembahasan tentang "persatuan dan cinta tanah air lewat gerakan kepandoen" mereka sepakat perbedaan agama tidak menjadi halangan untuk bersama-sama membicarakan perasaan persatuan dan kebangsaan. Kita memang saudara sebangsa dan setanah air yang tidak dibatasi oleh etnisitas, agama dan tradisi.

Meneguhkan Eksistensi
Sebagai anak jajahan, mereka sadar tidak mungkin dapat hidup tanpa memiliki ruang hidup. Bumi tempat berpijak suatu bangsa perlu dirumuskan dan dibentangkan. Untuk itulah perlu adanya kesepakatan "ruang dan batas wilayah tanah air". Ruang sebagai tempat tinggal untuk meneguhkan eksistensinya. Ruang hidup tidak akan menjadi tempat hidup yang aman dan membahagiakan sekiranya penghuninya tidak memiliki ikatan persaudaraan yang senasib dan seperjuangan.

Peneguhan sebagai satu bangsa menjadi keniscayaan. Dalam persaudaraan sebagai sebuah bangsa itulah roh kebangsaan dapat diarahkan untuk mengembangkan daya cipta dan inovasi. Relasi dan ruang pemahaman sebagai saudara sebangsa dan setanah air
hanya dapat dirawat dan dirajut dengan adanya bahasa yang sama.

Untuk itulah menjunjung bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan merupakan langkah yang cerdas. Bahasa bukan sekedar alat komunikasi, tetapi juga membentuk pola dan struktur berpikir suatu  bangsa. Penyatuan tanah air, bangsa dan bahasa memungkinkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang bisa bersatu, merdeka, dan maju.

Meneguhkan Persaudaraan
Hasil kongres pemuda II merupakan salah satu tonggak sejarah masyarakat Nusantara dalam membangun ikatan kebangsaan. Sekat-sekat primordialisme berhasil dicairkan dan dirajut menjadi tenun kebangsaan yang inklusif. Kesetaraan antar suku dibangun dengan saling menghormati demi terwujudnya persatuan sebagai suatu bangsa yang multikultural. Komitmen bahwa kita semua adalah "saudara sebangsa dan setanah air" telah dikumandangkan. Kata-kata yang teruntai dalam sumpah pemuda menjadi kata-kata yang mengubah  kesadaran sekaligus realitas masyarakat Nusantara.

Agar "sumpah pemuda" tidak terenggut dalam verbalisme perlu aksi dan praktek kehidupan yang mencerminkan kita benar-benar sebagai saudara sebangsa dan setanah air. Saat saudara kita kesulitan saudara yang lain ikut merasakan dan membantunya. Kepedulian pemerintah, swasta dan masyarakat terhadap bencana alam di NTB dan Donggala adalah contohnya.

Namun, adanya kesenjangan sosial-ekonomi yang masih tinggi serta perilaku koruptif dapat menimbulkan kecemburuan dan pembelahan sosial. Kondisi tersebut dapat menjadi bahan membangun ujaran kebencian, politik identitas, sifat intoleran hingga radikalisme. Jiwa gotong royong sebagai sesama anak bangsa perlu dirawat dan dikembangkan.

Tugas kita bersama menjadikan "sumpah pemuda" sebagai kata yang otentik. Kata yang meneguhkan kita adalah saudara sebangsa dan setanah air. Sebagai saudara kita harus saling jujur dan membantu. Sebagai saudara kita tidak perlu saling berprasangka dan membenci. Semua hanya terwujud kalau dalam kehidupan berbangsa dan bernegara  kebijakan yang berdimensi struktural dan kultural lebih mengedepankan aspek kemanusiaan dan keadilan.

Ruang untuk memfasilitasi generasi muda  berkreasi dan berinovasi sangat dibutuhkan agar keluarga bangsa Indonesia makin berdaulat, maju dan mandiri. (BPIP/DJIKP)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya