Headline
Tidak ada solusi militer yang bisa atasi konflik Israel-Iran.
Para pelaku usaha logistik baik domestik maupun internasional khawatir peningkatan konflik Timur Tengah.
SUARA alunan murid mengaji terdengar saat berkunjung ke Pondok Pesantren Nurul Huda yang terletak di Langgongsari, Cilongok, Banyumas, Jawa Tengah. Tidak semata mengaji, para santri yang mondok di Ponpres Nurul Huda ini juga menempuh pendidikan formal.
Para santri yang masih berusia SD menempuh pendidikan di sekolah di sekitar pondok. Sementara itu, santri yang mengikuti jenjang pendidikan SMP dan SMA bersekolah di SMP Al Aqwiya dan Madrasah Aliah (MA) Al Aqwiya yang dikelola pondok.
Saat ini ada sekitar 1.000 santri putra dan putri yang belajar dan mengaji di Nurul Huda. Mereka tidak hanya dari seputar wilayah Purwokerto dan Kabupaten Banyumas, tetapi dari luar Jawa, seperti Lampung, Palembang, Makassar, dan Lombok. Mereka ditampung di dua lokasi berbeda, dipisahkan antara putra dan putri.
Keberadaan Pondok Pesantren Nurul Huda tidak lepas dari sosok Muhammad Abror yang akrab dipanggil Gus Abror. Awalnya orangtua Muhammad Abror, yakni Kyai Ahmad Samsul Ma'arif bersama Abdul Muttolib Khalimi dan Abdullah Sukri pada 1983 menyelenggarakan majelis taklim atau pengajian kecil-kecilan untuk warga sekitar. Lambat laun banyak orang dari luar kecamatan, bahkan luar kabupaten yang datang, ikut pengajian.
"Mereka yang mengusulkan kepada bapak saya supaya bikin asrama," ujar jebolan Pondok Pesantren Buntet, Cirebon, Jawa Barat ini. Semula, pembangunan asrama hanya menampung tamu pengajian dari luar kota. Namun, asrama belum selesai dibangun sudah ada santri yang datang. "Nah, santri itu yang menginspirasi bapak saya. Kebetulan santri ini tidak mendapat dukungan dari orangtuanya baik secara finansial maupun spiritual," ungkap Gus Abror.
Saat berdiri jumlah santrinya hanya 11 orang, "Santrinya unik tak pernah lebih dan kurang dari 11 anak," ujar Gus Abror.
Sepeninggal Kyai Ahmad Samsul Ma'arif, pengelolaan pondok diserahkan kepada Gus Abror hingga kini. Adik Gus Abror juga terlibat dalam pengelolaan pondok. Gus Imam mengurusi SMP Al Aqwiya, sedangkan Gus Ajir diserahi tugas menangani Madrasah Aliah (MA) Al Aqwiya.
Rata-rata santri yang mondok di pesantren ini merupakan kaum duafa atau anak yatim piatu sehingga Gus Abror memutuskan tidak ditarik bayaran alias gratis.
"Pertimbangan paling mendasar kenapa kami tidak menarik biaya sepeser pun karena rata-rata mereka tidak mampu. Maka, kami enggak menarik apa pun kepada mereka," ungkap Gus Abror.
Bila mana dihitung biaya operasional pondok, termasuk makan sehari-hari para santri bisa mencapai ratusan juta rupiah per bulan. Namun, Gus Abror tidak pernah mengajukan proposal bantukan kepada siapa pun. Jika ada yang ingin memberikan bantuan, ia tidak menolak.
Ia yakin Tuhan akan memberi jalan kepada siapa saja yang berbuat ikhlas menolong sesama. Pondok memiliki sejumlah unit usaha, di antaranya koperasi dan air minum kemasan untuk konsumsi internal pondok.
Zona Bombong
Kegiatan Pesantren Nurul Huda tidak lepas dari santri yang mondok. Namun, tidak semua santri yang tinggal di asrama. Ada juga warga sekitar yang bersekolah di pesantren ini.
Para santri yang tidak bermukim di asrama memiliki beragam latar belakang kehidupan. Termasuk mereka yang memiliki masa lalu yang suram, seperti pengedar narkoba dan tukang mabuk.
Setelah bergaul dengan Gus Abror, mereka mampu menata hidup mereka kembali. Salah satunya Heri Kristanto. Heri tertarik datang ke Ponpes Nurul Huda dan ngaji kepada Gus Abror karena melihat sosok Gus Abror yang tidak pernah menggurui dan telaten melayaninya ngobrol untuk menumpahkan semua persoalan yang dihadapinya.
Dulu Heri yang suka mabuk, kini aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial yang mereka beri nama Zona Bombong. Bombong berasal dari bahasa Jawa yang berarti menghibur. Di Zona Bombong ini juga bergabung para santri Gus Abror yang punya latar belakang kehidupan gelap dan kini telah tobat.
Ada beragam kegiatan yang dilakukan di zona yang dibentuk 5 tahun lalu, di antaranya pemberian nasi bungkus kepada orang yang membutuhkan setiap hari, layanan ambulans gratis. Mobil yang pertama kali digunakan untuk kegiatan ini ialah mobil Gus Abror. Lalu ada bedah rumah, peminjaman inkubator gratis, dan pengajian.
Para anggota Zona Bombong juga terus mengembangkan kegiatan sosial mereka, di antaranya menghubungkan pemilik kursi roda yang sudah tidak terpakai dengan orang yang membutuhkan kursi roda. Zona Bombong saat ini dikelola dan sumber dananya berasal dari para santri Gus Abror. (M-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved