Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Emoh Tunggu 22 Tahun, Nekad ke Tanah Suci

Ade Alawi
07/8/2018 06:03
Emoh Tunggu 22 Tahun, Nekad ke Tanah Suci
(MI/Ade Alawi)

MATA terpejam, bibir komat kamit, dan tangan bergerak menghitung jumlah zikir yang dilafalkan.

Hal itu dilakukannya seusai menunaikan Salat Zuhur di Masjid Syeikh Amin Umar Jad di kawasan Sysyah, Mekah, Minggu (5/8)

"Pak, dari Indonesia?," tanya saya. "Benar, dari Sampang, Madura," jawabnya dengan aksen campuran Madura-Melayu.

Rupanya pria bernama Wahid, 55, ini bekerja di Malaysia. Dia sudah 20 tahun tinggal di negeri jiran dengan profesi sebagai pekerja di sektor swasta.

Siang itu, Wahid menggunakan gamis warna hijau toska dan peci putih. Dia juga bawa tas kecil warna cokelat

Pria yang memiliki anak satu ini mengaku berada di Mekah untuk menunaikan ibadah haji dengan cara tidak lazim, yakni bukan menggunakan visa haji.

Dia menggunakan visa pekerja/bisnis melalui sebuah perusahaan Travel Haji dan Umrah berinisial A.

"Saya masuk kategori istithaah (mampu) maka saya wajib berhaji. Ada tawaran ya saya ambil. Saya membayar Rp90 juta untuk perjalanan haji selama 1 bulan," ungkapnya.

Wahid mengaku sejauh ini aman-aman saja berhaji, baik saat melewati pemeriksaan imigrasi di bandara King Fahd Riyadh dan selanjutnya di bandara King Abdul Aziz Jeddah, atau pun ketika tinggal di hotel di Madinah dan Mekah.

"Tapi rasa was-was (ditangkap aparat Arab Saudi) tetap ada," tuturnya.

Menurutnya, yang membuatnya mengambil jalan pintas berhaji secara ilegal adalah karena masa tunggu yang lama, yakni selama 22 tahun untuk calon haji di Pulau Madura.

"Kalau saya menunggu selama 22 tahun saya keburu meninggal dunia,: pungkasnya.

Menanggapi hal itu, Kepala Biro Humas, Data, dan Informasi Mastuki tidak mengamini bila berdalih istithaah seenaknya pergi ke baitullah dengan segala cara.

"Sejak zaman Belanda, pemberangkatan haji dari Tanah Air sudah terorganisir. Misalnya oleh Nahdlatul Ulama. Negara wajib melindungi warga negaranya, baik di dalam atau luar negeri. Apa yang terjadi bila negara membiarkan warganya naik haji dengan cara masing-masing? Tentu berantakan," kata Mastuki, Senin (6/8)

Menurutnya, pengertian Walillahi `alannasi hijjul baiti manistatha’a ilaihi sabila (mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah).” (QS. Ali Imran: 97).

Maknanya, kata Mastuki, tidak hanya mampu atau sanggup, melainkan jalannya harus sampai dengan benar.

"Pemahaman keliru sebagian masyarakat soal istithaah harus diluruskan. Tidak bisa sak karepe dewe alias semau gue," tandas doktor ilmu sejarah Islam ini. (OL-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya