Headline
Senjata ketiga pemerataan kesejahteraan diluncurkan.
Tarif impor 19% membuat harga barang Indonesia jadi lebih mahal di AS.
ARKEOLOG Universitas Gadjah Mada (UGM) Daud Aris Tanudirjo menyatakan bangsa ini sepatutnya tidak terlalu terbuai narasi-narasi kejayaan masa lalu yang dimiliki kerajaan-kerajaan di Nusantara.
Sebaliknya bangsa ini harus belajar dari masa lalu dan memetik pelajaran bagi menentukan arah bangsa ke depan.
"Kita seringkali hanya menonjolkan kejayaan masa lalu. Tapi setelah itu tak berarti apa-apa. Sekarang kita tidak butuh narasi kebesaran budaya masa lalu tapi prosesnya yakni pemahaman bagaimana kejayaan itu terbangun. Itu merupakan pelajaran berharga sebagai bahan pengambilan kebijakan dan modal menghadapi masalah global kekinian," ujarnya saat memberikan orasi ilmiah dalam perayaan Hari Purbakala ke-105 yang digelar Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) di Gedung Perpustakaan Nasional, Jakarta, Sabtu (21/7).
Negeri ini, menurutnya, bisa sulit menghadapi tantangan global jika hanya berkutat membanggakan kekayaan peradaban tapi justru melupakan proses kesejarahannya.
Menurutnya, banyak tantangan global dan lokal kekinian yang dihadapi tapi justru negeri ini gamang menentukan posisi dan tidak bisa menjadi pemain utama.
Dia mencontohkan Tiongkok yang saat ini kembali membangun jalur perdagangan lintas benua Jalur Sutra melalui inisiatif One Belt One Road (OBOR).
Kebijakan Tiongkok itu, menurutnya, ialah buah dari kesadaran budaya dan sejarah yang tak hanya mengangungkan kejayaan masa lalu, tapi mentransformasikannya menjadi kebijakan masa kini yang bervisi luas.
"Kita juga memiliki kebijakan Poros Maritim. Yang terpenting ialah bagaimana Poros Maritim itu agar sebaiknya tidak hanya ingin mengulang kejayaan masa lalu. Dari perspektif arkeologi, masalahnya ialah bagaimana kita mempelajari itu saat era Majapahit. Konsepnya ialah manajemen pengaruh bukan teritori," pungkasnya.(X-10)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved