Headline
Penaikan belanja akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 5,4%.
Penaikan belanja akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 5,4%.
KASUS perkawinan usia anak kembali terjadi. Kali ini, perkawinan anak terjadi di Kalimantan Selatan melibatkan anak laki-laki berinisial A (13) dan anak perempuan berinisial I (14) yang dinikahkan orangtua mereka secara siri atau tanpa pernikahan melalui KUA yang diakui negara.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Yohana Yembise mengecam dan menyayangkan perkawinan anak yang terjadi di Desa Tungkap, Kecamatan Binuang, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan itu.
"Kita tidak boleh menolerir dan harus menolak perkawinan usia anak karena itu bukan merupakan kepentingan terbaik bagi anak", tegas Yohana melalui keterangan tertulis di Jakarta, Minggu (15/7).
Pada kasus A dan I yang terlanjur melakukan perkawinan, kementerian telah turun tangan melakukan pendampingan dan upaya persuasif agar pasangan itu menunda kehamilan terlebih dahulu. Upaya itu bakal dilakukan hingga kondisi fisik, terutama alat reproduksi dan kematangan emosional mereka sudah siap untuk mempunyai anak.
"Secara psikologis usia anak belum matang untuk membangun keluarga," imbuhnya.
Lebih lanjut, Yohana mengatakan pihaknya juga akan mengupayakan pendampingan dan pemantauan terhadap pasangan anak tersebut untuk mencegah kemungkinan kekerasan dalam rumah tangga atau perceraian. Hak-hak anak, seperti pendidikan dan kesehatan, juga akan tetap dijaga agar kedua anak tidak putus sekolah dan kesulitan mendapat layanan kesehatan.
"Kita juga akan mendapingi agar mereka tidak melakukan perkawinan yang diakui negara hingga usianya telah siap sesuai dengan undang-undang yang berlaku," tandasnya.
Dia menambahkan pihaknya juga meminta komitmen para pemimpin daerah serta tokoh masyarakat, agama dan masyarakat pada untuk turut mencegah perkawinan anak.
"Masyarakat perlu disadarkan akan risiko yang akan dihadapi anak bila mengalami perkawinan anak. Banyak sekali risikonya mulai dari potensi melahirkan anak stunting, ketidakstabilan ekonomi, putus sekolah, rentan kekerasan dalam rumah tangga, perceraian hingga bahaya kematian pada ibu yang melahirkan terlalu muda," jelasnya.
Yohana menambahkan, pihaknya terus mendorong revisi undang-undang nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, agar menaikkan usia perkawinan minimal 20 tahun untuk anak perempuan dan 22 tahun untuk anak laki-laki. Ketentuan batas minimal usia perkawinan menurutnya harus dinaikkan untuk mencegah perkawinan anak terus terjadi. (OL-7)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved