Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Tiga Kolam untuk Pengolahan Limbah Kotoran Sapi

Abdillah M Marzuqi
24/3/2018 21:00
Tiga Kolam untuk Pengolahan Limbah Kotoran Sapi
(MI/M TAUFAN)

ALAT berat itu masih terus bekerja. Seperti cangkul raksasa, ia mengeruk tanah di hadapannya. Tanah yang semula rata pun berubah bentuk menjadi tidak karuan. Tiap kali tanggan besi raksasa itu mengeruk, air pun merembes dari dinding-dinding tanah bekas kerukan. Tanpa jeda, alat itu bekerja terus. Hasilnya, tiga petak tanah itu sudah berbentuk kolam, meski belum sempurna.

Luasan ketiga kolam itu sekitar 25x30 meter dengan kedalaman 3 meter. Ketiga kolam itulah yang nantinya digunakan sebagai tempat pengolahan limbah kotoran ternak dari Kampung Citawa, Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung. Kotoran-kotoran ternak dari desa tersebut termasuk yang dibuang ke Sungai Citarum.

Beberapa ratus meter dari lokasi pengerjaan, tampak sebuah perkampungan cukup padat. Perkampungan itu mudah dijangkau dengan pandangan mata sebab lokasinya lebih tinggi daripada tempat pengerjaan proyek. Jalan tanah berbatu selebar satu mobil itu pun menjadi pintu masuk kampung. Tepat di samping jalan, selokan kecil malajur menurut alur jalan. Airnya keruh (tidak jernih) mengalir lancar.  Itulah hasil dari buangan kotoran ternak.

Kampung Citawa terletak tidak jauh dari hulu Sungai Citarum, Situ Cisanti. Kampung tersebut masuk wilayah Sektor 1 (dari 12 sektor) yang menjadi sasaran penataan hulu Sungai Citarum. "Citawa ini tempat sapi sama rumah berdekatan. Tidak ada tempat untuk pembuangan. Makanya kita cari tempat untuk menampung semua limbah-limbah dari Citawa, kita alihkan ke tempat kolam-kolam yang kita buat ini," terang Komandan Sektor 1 Citarum Harum Kolonel Infanteri Catur Gunanto kepada Media Indonesia, pekan lalu.

Saat melongok ke dalam kampung, memang benar terlihat begitu banyak  kandang sapi perah. Tidak ada lagi jarak antara rumah dan kandang. Sehingga jangankan membuat tempat penampung kotoran sapi, ruang untuk ternaknya saja sangat terbatas. Bahkan rumah penduduk pun harus rela berbagi jarak dengan kandang sapi.

Hampir semua penduduk kampung itu berprofesi sebagai peternak sapi perah, namun baru 135 menjadi anggota Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) Pengalengan.  "Itu yang termasuk anggota. Masih ada yang belum termasuk anggota," ujar Pajang Sudrajat, 46, dengan bahasa Indonesia campur Sunda.

Dibuang di selokan
Persoalan yang kemudian muncul ialah tidak ada tempat pembuangan limbah ternak. Kotoran sapi menjadi permasalahan baru. Kotoran sapi hanya dibuang begitu saja di selokan. "Gak ada tempat pembuangan. Tempatnya sempit," tambah Pajang yang memiliki 10 ekor sapi.

Akibatnya, selokan menjadi sangat tercemar dengan kotoran ternak. Bayangkan di Citawa terdapat seribuan sapi yang kotorannya dibuang di selokan. Mereka cukup menyemprot kotoran sapi dengan air. Air itu lalu dialirkan ke selokan. Pajang mengaku senang dengan pengadaan tempat pengolahan limbah yang sedang dikerjakan para prajurit TNI dari Kodam Siliwangi. Dengan begitu, limbah akan terkumpul dalam satu tempat.

"Bagus, jadi kesaring ke sananya. Jadi waduk itu menampung semua di situ," tambahnya. Tiga kolam pengolahan itu nantinya ditargetkan agar bisa mengatasi masalah  limbah ternak. Bahkan pada kolam terakhir, limbah telah ternetralisir sehingga bisa dipakai untuk kolam ikan. Sebab di situ rencananya akan dibuat menjadi area wisata memancing dan ditambah dengan arena wisata lain. "Kita tata untuk bisa buat rekreasi juga. Biar bisa buat penghasilan masyarakat," tambah Catur. Menurutnya, penataan Sungai Citarum tidak mungkin bisa sukses tanpa melibatkan masyarakat sekitar. Sebabnya, mereka juga terkait dengan soalan ekonomi. (X-7)

Penghijauan di Petak 73

Puncak bukit pun terlihat telanjang. Warna cokelat tanah sangat mudah didapati dari bawah. Apalagi ketika berkarung-karung pupuk putih kontras dengan warna tanah. Sungguh pemandangan yang sangat mengiris.  Lahan hijau telah berubah menjadi pertanian sayur. Hutan lebat dengan akar pohonan yang bisa menahan air dan menguatkan tanah telah hilang. Sebagai gantinya, lahan pertanian sayur yang tidak lagi terasa aman jika turun hujan lebat. Itulah tangkapan mata yang terdapat ketika melempar pandangan ke sisi mana pun dari lokasi pembibitan Pajaten Tarumajaya Kertasari Bandung. Beberapa kilometer dari lokasi tersebut, terdapat lahan yang ditandai dengan bendera Merah Putih dan umbul-umbul. Lokasi itu sama dengan lokasi lainnya. Hampir tidak ada hijau daun yang biasa didapati di perbukitan. Bedanya, lereng itu telah dibentuk terasering oleh anggota TNI dan masyarakat. Itulah Petak 73.

Luas Petak 73  65,9 hektare (ha). Hampir semua permukaan petak itu harus dihijaukan kembali. Sebab tanah yang curam tanpa pohonan merupakan bahaya yang mengancam. Itu masih di satu petak saja. masih ada delapan lokasi lagi dengan kondisi serupa.
Erdariana,40, tampak begitu bersemangat menapaki jalan setapak menuju Petak 73. Ia hendak menanam pohonan yang ia ambil dari lokasi pembibitan. Jalanan menanjak tidak lagi menjadi soal. Erdariana baru dua minggu bekerja dengan anggota TNI lain sebagai tenaga tanam. Petak 73 berada sekitar 4 kilometer dari lokasi pembibitan. Lahan yang curam membuat tanah di petak tersebut harus dibuat terasering dahulu sebelum ditanam pohonan.

"Buat terasering dulu, baru tanam tanam kopi sama pohon aren," terang Erdariana. Sebelum ada program Citarum Harum, Erdariana ialah salah satu buruh tani di petak 73. Ketika program itu berjalan, bapak tiga anak itu tidak kehilangan sumber penghasilannya. Ia tetap bekerja di tempat yang sama, cuma yang ditanam sekarang bukanlah sayuran, melainkan tanaman keras, seperti pohon aren, mahoni, damar, alpukat, eucalyptus, dan puspa.

Selain tanaman keras, jenis tanaman yang bernilai ekonomi, seperti   serai wangi dan kopi juga boleh ditanam. Tujuannya, selain lahan hutan kembali hijau, masyarakat juga bisa memperoleh penghasilan. Sebelum berangkat ke lokasi, Erdariana diberi pengarahan dahulu cara penanaman, seperti jarak tanam antar tanaman dan bibit yang harus dibawa.

"Saya mendapat gaji dari pekerjaan menanam itu. Bahkan lebih tinggi daripada saat bekerja sebagai buruh tani. Dulu hanya dibayar Rp45 ribu-Rp50 ribu setiap harinya," ujarnya.  Namun kini, lanjutnya,  ia bisa mengantongi Rp50 ribu per hari ditambah dengan uang makan Rp15 ribu. jadi Rp65 ribu per hari.Erdariana mengaku ikut bekerja dalam Citarum Harum bukan sekadar mencari penghasilan, melainkan merasa bertanggung jawab atas hutan yang terkikis akibat tanaman sayuran. "Ya bertanggung jawab juga. Karena hutannya sudah gundul, sekarang dihijaukan lagi. Biar bagus lagi buat anak-cucu kita kan nantinya. Kalau dibiarkan, cepat ada bencana alam juga nantinya. Selain itu, saya senang bekerja bareng-bareng TNI," tuturnya. (Zuq/X-7)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya