Headline
Penaikan belanja akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 5,4%.
Penaikan belanja akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 5,4%.
SAAT berusia 12 tahun, Nimas Mita menerima kabar buruk itu. Nyeri di lutut kanan yang sempat ia rasakan selama satu bulan ternyata bukan sakit biasa. Setelah didiagnosis dokter, ia dinyatakan menderita kanker tulang stadium 2B. Perempuan yang kala itu masih duduk di bangku SMP itu pun diselimuti kekalutan. Sebabnya, sepengetahuan dia kala itu, kanker merupakan penyakit ganas yang identik dengan kematian. Namun, Nimas berhasil menjadi penyintas (survivor) kanker. Perempuan yang kini berusia 23 tahun itu dinyatakan sembuh pada 2012 berkat pengobatan yang ia ikuti dengan sepenuh hati.
"Dulu mental saya sempat down karena persepsinya penderita kanker itu pasti cepat mati, tapi kini tidak lagi," tuturnya saat ditemui pada peringatan Hari Kanker Anak yang digelar Yayasan Onkologi Anak Indonesia (YOAI) di Jakarta, Minggu (17/2). Ketakutan serupa juga pernah dialami Sazkia Gabriellia, 24, dan Garry Nahumury, 24. Dua penyintas kanker leukemia itu sewaktu kecil bahkan sempat kehilangan teman akibat persepsi miring atas penyakit yang mereka derita.
Pada akhirnya, Sazkia dinyatakan sembuh setelah menjalani terapi medis selama 2,5 tahun, sedangkan Garry sembuh setelah menjalani pengobatan selama 2 tahun. Padahal, ketika pertama kali mereka didiagnosis, kanker yang diderita sudah ada di stadium 4.
Menurut dokter spesialis anak Rumah Sakit (RS) Kanker Dharmais Jakarta, dr Marurul Aisyi SpA, kanker anak berbeda dengan kanker pada orang dewasa. "Kanker pada anak memiliki peluang sembuh lebih besar jika dibandingkan dengan kanker pada orang dewasa. Respons anak terhadap pengobatan lebih baik," katanya pada kesempatan sama.
Menurut Marurul, peluang sembuh yang lebih besar itu disebabkan faktor sel. Sel pada anak relatif masih baik sehingga bisa menyerap obat-obatan terapi yang diberikan dengan maksimal. Pada orang dewasa, kanker lebih sulit ditangani karena sel-selnya sudah lebih kacau akibat paparan negatif dari gaya hidup dan lingkungan sekitar, termasuk paparan polusi.
Sayangnya, lanjut Marurul, masih banyak orangtua yang belum menyadari pentingnya deteksi dini gejala kanker anak. Di RS Kanker Dharmais tempatnya berpraktik, sebagian besar anak yang terdiagnosis kanker sudah telanjur ada di stadium lanjut.
"Hanya sekitar 15% yang ketika diperiksa kankernya pada stadium awal. Deteksi dini gejala kanker amat penting, semakin dini ditemukan dan diobati, peluangnya semakin baik. Kepatuhan pada pengobatan juga menjadi kunci keberhasilan terapi. Jangan menunda-nunda terapi," ucapnya.
Tangkal mitos
Pada kesempatan sama, Ketua YOAI Rahmi Adi Putra Tahir mengatakan hingga kini masih banyak mitos seputar kanker pada anak. Antara lain anggapan anak penderita kanker bisa menularkan penyakitnya, kanker pada anak sulit disembuhkan, penyintas kanker anak tak bisa berprestasi, berusia pendek, dan tak bisa memiliki keturunan.
Padahal, kanker tidak menular. Para penyintas kanker anak pun bisa hidup normal dan berprestasi. Beredarnya mitos-mitos itu, kata Rahmi, terjadi karena ketidaktahuan orangtua terhadap fakta-fakta tentang kanker anak. "Orangtua yang anaknya terkena kanker harus diberi pemahaman yang benar tentang kanker. Mereka juga perlu diyakinkan bahwa kanker pada anak bisa diobati dan diupayakan sembuh," tutur Rahmi.
Berkaca dari kisah anak-anak yang berhasil sembuh dari kanker, Rahmi menyatakan hal terpenting bagi orangtua ialah mengenali gejala awal kanker pada anak. Dukungan moral dan kasih sayang kepada anak penderita kanker juga dibutuhkan agar mereka bisa terus bersemangat. (H-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved