Headline
Manggala Agni yang dibentuk 2002 kini tersebar di 34 daerah operasi di wilayah rawan karhutla Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.
Manggala Agni yang dibentuk 2002 kini tersebar di 34 daerah operasi di wilayah rawan karhutla Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.
Sejak era Edo (1603-1868), beras bagi Jepang sudah menjadi simbol kemakmuran.
DI sebuah rumah berarsitektur tradisional dengan material bambu, Merlian Gogali duduk sembari membaca buku. Di sekelilingnya, rak-rak penuh buku bertingkat hampir ke langit-langit. Perpustakaan Sophia, begitu nama tempat tersebut, lahir dari gagasan perempuan yang akrab disapa Lian ini. Saban hari, perpustakaan itu menjadi oasis ilmu bagi perempuan dan anak-anak Desa Tentena, Poso, Sulawesi Tengah. Pemandangan tersebut sesungguhnya juga mengisahkan kerja panjang Lian sejak 2009. Tahun itulah pendirian Institut Mosintuwu, organisasi kemasyarakatan akar rumput yang anggotanya terdiri dari para penyintas konflik Poso.
Institut yang namanya diambil dari bahasa Pamona (salah satu suku di Poso) yang berarti ‘bekerja bersama-sama’ ini pula yang mewadahi lahirnya berbagai program pendidikan, pengorganisasian, hingga ekonomi solidaritas. Program pendidikan mereka di antaranya Sekolah Perempuan Mosintuwu, Project Sophia, dan Perpustakaan Sophia. “Sekolah Perempuan ialah sekolah alternatif yang mengumpulkan perempuan dari pelbagai agama, suku, dan latar belakang sosial, ekonomi, dan politik untuk belajar bersama agar meningkatkan pengetahuan, mengembangkan kreativitas, dan bekerja bersama,” jelasnya kepada Media Indonesia, beberapa waktu lalu.
Saat ini sekolah perempuan yang programnya berlangsung selama satu tahun itu telah berkembang ke sejumlah wilayah di Poso. Bahkan, hampir semua kecamatan di Poso terdapat Sekolah Perempuan Mosintuwu. Saat berbincang kembali, Selasa (3/10), Lian menjelaskan latar belakang gerakannya yang berfokus pada perempuan. Hal itu disebabkan perempuan juga korban yang mengalami berlapis kekerasan dalam masyarakat karena konstruksi masyarakat yang patriarkat sehingga suara mereka tidak didengar atau dianggap tidak penting.
Di sisi lain, kiprah perempuan amat penting karena merupakan penggerak perdamaian pertama dan utama dalam masyarakat akar rumput saat konflik maupun setelah konflik. “Saya percaya perempuan memiliki kekuatan dalam membangun perdamaian, melebihi laki-laki, karena perempuan mempertimbangkan soal memelihara dan melanjutkan kehidupan,” tutur perempuan kelahiran Taliwan, Tentena, 28 April 1979 itu. Sekolah Perempuan berperan sebagai pijakan awal untuk mempertemukan para perempuan yang berbeda latar belakang sosial, agama, dan suku untuk belajar bersama, belajar bekerja sama, membangun komunikasi, dan rasa saling percaya antarkomunitas. Kebersamaan ini dilanjutkan dengan memperkuat para perempuan dalam organisasi perempuan interfaith (antariman). “Karena itu, program Sekolah Perempuan Mosintuwu disebut juga sebagai gerakan perempuan antariman untuk perdamaian dan pemenuhan hak ekonomi, sosial, budaya, dan hak sipil politik,” ungkap pemilik gelar sarjana bidang teologi dan master bidang humaniora ini.
Perempuan Pembaharu
Kini lulusan Sekolah Perempuan tengah menggarap satu program baru yang diberi nama Perempuan Pembaharu Desa. Program baru yang digagas Lian bersama perempuan-perempuan di Poso ini merupakan sebuah inisiasi yang dikembangkan untuk memastikan keberlanjutan gerakan perempuan di dalam desa sekaligus internalisasi nilai-nilai kesetaraan dan keadilan gender, nilai perdamaian, dan keadilan. Lulusan Sekolah Perempuan Mosintuwu bergabung menjadi relawan dalam program ini. Mereka disebut Tim Perempuan Pembaharu Desa. Kata ‘Pembaharu Desa dimaksudkan untuk melekatkan semangat para perempuan akar rumput untuk memberikan aksi dan kreativitas positif yang dapat membangun desa dan mengembangkan desa membangun.
“Dengan mempertimbangkan kebutuhan dan kepentingan konteks dan masyarakat desa-desa di Kabupaten Poso, tim Pembaharu Desa bekerja dalam beberapa isu, di antaranya tim rumah perlindungan perempuan dan anak, tim pendamping desa/layanan masyarakat, tim Sophia/anak/kampung literasi, tim usaha desa, dan tim reportase/media,” jelas Lian. Tim rumah perlindungan perempuan dan anak bertujuan menghentikan dan mencegah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terjadi di desa. Sementara itu, tim pendamping desa/layanan masyarakat melakukan aktivitas berpolitik di dalam desa. Mereka mendorong keikutsertaan perempuan dalam semua posisi pengambilan keputusan di struktur pemerintahan desa dan memastikan kelompok perempuan aktif dilibatkan dan terlibat dalam perencanaan, pelaksanaan, serta pengawasan pembangunan desa. Mereka juga melakukan kampanye dan advokasi pemenuhan hak layanan masyarakat, yaitu pendidikan dan kesehatan.
Tim usaha desa dipercaya untuk tugas menciptakan lapangan pekerjaan di dalam desa dengan mengembangkan potensi-potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia di dalam desa. Mereka yang bergabung dalam tim ini akan bekerja sama dengan pemerintah desa untuk mengembangkan badan usaha milik desa. Salah satu bentuk yang dikembangkan tim usaha desa ialah pengelolaan sampah menjadi produk kreatif di dalam desa bekerja sama dengan Institut Mosintuwu. Selain itu, mereka memiliki usaha produksi kopi, kedelai, gula aren, ubi, cokelat, dan sebagainya.
“Tim usaha desa yang dikelola anggota Sekolah Perempuan ini memiliki prinsip memastikan peredaran uang ada di dalam desa dan memastikan masuknya uang di dalam desa,” jelas Lian. Tidak hanya pada perempuan, Institut Mosintuwu juga memiliki sejumlah program untuk anak-anak. Pendidikan alternatif melalui buku untuk anak-anak dijalankan lewat Project Sophia. “Dalam program ini buku menjadi strategis, bukan hanya karena membuka akses informasi dan pengetahuan yang luas dan lintas negara, melainkan juga membuka kemungkinan bagi ruang bertemu yang bebas dari prasangka,” tambah Lian.
Segala kiprah Lian tersebut telah mendapat pengakuan bukan hanya dari dalam negeri tapi juga dunia. April lalu, ia baru mendapat penghargaan dari Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Dari luar negeri, salah satu penghargaan yang ia peroleh adalah Coexist Prize pada tahun 2012. Namun bagi sosok seperti Lian, sederet penghargaan bukanlah tujuan. Baginya, lestarinya perdamaian di Poso tetaplah tujuan dan kebanggaan terbesar. (M-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved