Headline

Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.

Fokus

Sejumlah negara berhasil capai kesepakatan baru

Rahmah Perempuan Penakluk Dunia melalui Kopi Gayo

Ferdian Ananda Majni
30/9/2017 01:46
Rahmah Perempuan Penakluk Dunia melalui Kopi Gayo
(MI/Sumaryanto Bronto)

ADA pepatah 'Di mana ada kemauan, pasti di situ ada jalan' atau ungkapan Arab yang terkenal 'Man jadda wa jada' yang artinya 'Barangsiapa bersungguh-sungguh pasti akan mendapatkan hasil'.

Begitu juga 'Where there is a will there is a way'.

Ketiga ungkapan itu menegaskan tidak ada yang sulit jika mau berusaha dengan kerja keras, kerja cerdas, dan kerja ikhlas.

Rahmah, perempuan asal Takengon, Aceh Tengah, membuktikan kemauan dan kesungguhannya serta dibarengi kerja keras akan menghasilkan kesuksesan kelak.

Betapa tidak, perempuan lulusan SMA ini telah menjadi pengusaha eksportir kopi gayo ke belahan dunia.

Perempuan yang berbinis kopi sejak 2002 itu awalnya berniat mendukung ekonomi keluarga dan menjaga tradisi.

Berawal dari skala rumahan, ia pun berhasil menjadi eksportir.

"Sejak lahir memang sudah melihat kopi. Karena kita anak petani, besar dari kopi jadi sangat mengenal kopi. Apalagi kakek juga pedagang kopi, terus ke orangtua hingga turun ke saya," kata dia.

Dia mengekspor kopi mencapai 70% ke Amerika meski ia melakukannya berdasarkan permintaan, mulai 5-6 kontainer setiap bulannya.

"Kita lakukan ekspor kopi sesuai dengan permintaan, apalagi kita juga sudah banyak buyer sehingga kita harus membagikan pengirimannya. Akan tetapi, tetap, 70% kita ekspor ke Amerika. Selebihnya, ke Arab, Korea, dan Taiwan," sebutnya.

Ekspor

Perempuan kelahiran 16 Oktober 1966 silam itu memikirkan bisnis kopi setelah menikah.

Diawali ide membuka kios yang menyediakan sembako, seperti beras dan minyak untuk ditukar dengan kopi dari petani.

"Jadi petani bawa kopi ceri (biji kopi) lalu ditukar dengan sembako. Usaha seperti itu berjalan selama 5 tahun. Awalnya kita jual lokal, kemudian kita jual ke Medan, ternyata harga jual di sana lebih menguntungkan," kata dia.

Melalui Medan, kopi asal Gayo ini kemudian dikirim ke luar negeri.

Ia mengaku penasaran dan mencari informasi tentang proses ekspor.

Ternyata, melakukan ekspor bukanlah perkara mudah selain harus mengurus beragam perizinan dan pandai berbahasa Inggris.

"Di Medan kita bertanya, kopi ini diekspor ke mana dan saya belajar untuk menjadi eksportir kopi juga. Rupanya proses melakukan ekspor kopi bukan perkara mudah dan harus bisa berbahasa Inggris untuk berkomunikasi dengan buyer," terangnya.

Koperasi

Guna memaksimalkan potensi daerah dan memberdayakan petani, Rahmah mendirikan koperasi UD.

Koperasi yang awalnya hanya 28 anggota kini mencapai 200 anggota dari 20 desa.

"Koperasi ini dinamakan UD Ketiara karena saat didirikan bertepatan kelahiran anak ketiganya, Tiara Bambang Ginanti. Melalui koperasi kopi Ketiara yang berdiri sejak 2009, dengan 28 anggota awalnya, dan diajak 200 petani saya melakukan pengiriman kopi ke Medan," jelasnya.

Koperasi Ketiara pun telah melakukan ekspor koppi ke Belanda, Korea, Arab Saudi, dan Taiwan. Untuk mendapatkan sertifikat ekspor, setiap tahun dilakukan audit langsung dari Jerman.

Sekitar lima tahun, Rahmah melakukan pengiriman melalui Medan.

Hingga 2017 ini ia mendirikan koperasi bernama Queen Ketiara yang dijadikan jalur mengirimkan kopi.

Mutu Kopi Queen Ketiara adalah specialty, lebih tinggi kualitasnya.

"Anggota Queen Ketiara 90% adalah perempuan. Saya ingin merangkul perempuan. Di Gayo ini banyak perempuan yang hanya menjadi ibu rumah tangga, saya ingin mereka bangkit. Jadi, saya minta izin kepada suami mereka agar istrinya bergabung dengan koperasi saya," paparnya.

Kini koperasinya memiliki 2.700 petani.

Nekat

Kesuksesannya saat ini merupakan hasil kerja keras dan kenekatannya sejak 2013.

Meski tidak bisa berbahasa Inggris dan menggandalkan Google Translate untuk membaca dan membalas e-mail dari luar negeri tak membuat ibu empat anak itu pantang menyerah.

"Tidak ada yang istimewa dengan produk kopinya. Bahkan, semua kopi yang berasal dari Indonesia bagus dan memiliki kelebihan masing-masing. Hanya, pembeli kopi luar negeri mengakui kualitas kopi miliknya sangat bagus. Buyer yang mengatakan kopi saya enak lalu ditanya berasal dari mana dan bibitnya apa? Kopi gayo dan bibitnya arabika. Ada gayo satu dan gayo dua," lanjutnya.

Dalam pengembangan bisnisnya, Rahmah bergantung pada pendanaan. Biaya satu kontainer saja, lanjut Rahmah, mencapai Rp1,3 miliar. Nenek dua ducu ini tidak memiliki modal sebanyak itu.

"Jadi saya rangkul pedagang yang banyak uangnya. Misalnya dia punya kopi 10 ton, kita bayar 5 ton dulu karena memang dukungan teman-teman sangat membantu," terang istri Edi Supriyanto ini.

Selama menjadi eksportir, jalan yang dilalui Rahmah tak selalu mulus.

"Saya pikir ekspor kopi itu sama saat mengirim ke Medan. Akan tetapi, memang beda, proses olahan kopi itu harus benar-benar kering dan kadar airnya hanya 13%. Itu kerugiannya, setelah nego hanya dibayar setengah," ungkapnya.

Setelah proses eskpor ke sejumlah negara, seperti Jerman, Kanada, Prancis, India, dan Amerika, ia mengalami kenaikan omzet dari tahun ke tahun.

Bahkan, ia tidak minder jika ada yang mengetahui ia hanya lulusan SMA dan memulai usaha dari nol besar.

(M-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya