Headline

Penaikan belanja akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 5,4%.

Nani Zulminarni Memperjuangkan Kemandirian Janda

Rizky Noor Alam
18/5/2017 00:30
Nani Zulminarni Memperjuangkan Kemandirian Janda
(MI/ARYA MANGGALA)

BERBAGAI penolakan saat wawancara pekerjaan karena dirinya berjilbab mengantarkannya bergabung ke sebuah yayasan. Sejak itulah Nani Zulminarni mulai berkecimpung di dunia pemberdayaan perempuan. Padahal, Nani merupakan lulusan sarjana perairan dari Institut Pertanian Bogor (IPB). "Saya di dunia pemberdayaan perempuan sudah lama, sejak 1987. Jadi, waktu saya lulus pada 1985, saya susah sekali mencari pekerjaan, saya lulusan jurusan perikanan, manajemen sumber daya perairan IPB. Setiap tes melamar pekerjaan hasilnya bagus, tapi begitu interview mereka keberatan karena saya memakai jilbab. Jadi, jilbab di Indonesia pada zaman itu masih dilarang," ungkap Nani kepada Media Indonesia di kantornya di Jakarta, Jumat (28/4).

"Dari situ sebenarnya saya ditawari untuk bergabung di sebuah yayasan, namanya Yayasan Annisa yang melakukan pemberdayaan perempuan di desa-desa untuk peningkatan pemberdayaan perempuan," imbuhnya. Ia pun menjadi salah satu pendamping lapangan di Pusat Pengembangan Sumber Daya Wanita (PPSW) yang membantu para perempuan petani di wilayah Bogor, Jawa Barat. Tugasnya mengembangkan kegiatan pertanian dan simpan pinjam. "Sejak saat itu saya tidak pernah beranjak dari pemberdayaan perempuan, sampai akhirnya saya menjadi direktur di lembaga itu (PPSW) pada 1995 dan memasuki 2000 saya mulai merintis Perkumpulan Perempuan Kepala Keluarga (Pekka)," imbuhnya.

Cerai
Di balik kariernya yang cemerlang, pada 2000 ia diuji dengan perceraian. "Saat bercerai saya merasakan betul sulitnya menjadi perempuan yang bercerai dalam konteks sosial kultural kita. Stereotip tentang janda, orang juga menyalah-nyalahkan, itu saya alami. Selain itu juga tuntutan ekonomi. Saya harus sendiri, jadi kesulitannya itu bertubi-tubi," papar Nani. Di tengah kesulitan itu, ibu tiga putra itu tengah merintis Pekka, lembaga pemberdayaan para perempuan janda kepala keluarga. Namun, pengalaman hidupnya membuat ia kian semangat mengembangkan Pekka.

"Saya tersadar saat dimintai Komnas Perlindungan Perempuan mendokumentasikan kehidupan janda di wilayah konflik. Saya melihat janda-janda yang lain itu jauh lebih sulit. Mereka itu tidak punya kesempatan, tidak punya teman, sangat miskin, dan betul-betul berjuang untuk hidupnya. Ada satu hal yang saya tangkap dari janda-janda ini, yaitu mereka tidak putus asa, tetap punya harapan, dan menjalankan hidup dengan ikhlas," paparnya.

"Janda bukan perempuan yang tidak berguna, bukan tidak baik, melainkan punya martabat yang luar biasa, dan saya menemukan itu," lanjutnya. Kondisi mereka lebih tragis jika dibandingkan dengan dirinya. Mereka menjanda karena suami mereka dibunuh. Terkadang ada yang ditinggal saat hamil dan harus membesarkan anak seorang diri.
Ada juga yang memilih melajang karena menjadi tulang punggung keluarga. Fenomena itu pun memecut dirinya untuk mengembangkan Pekka. Alasannya, jika dibandingkan dengan para janda itu, dirinya memiliki banyak kelebihan baik pendidikan, kesempatan, dan pengetahuan IT.

Pemberdayaan
Tiga tahun pertama membangun Pekka, Nani mengaku ia dan teman-temannya hampir putus asa karena banyak menghadapi rintangan. Kelompok yang sudah dibentuk mereka bubar karena berbagai faktor, termasuk terprovokasi. "Bubarnya itu 90%, misalnya ada 10 kelompok, maka yang tersisa satu. Jadi, di tahun-tahun pertama kita itu benar-benar berjuang. Akhirnya kita fokus dengan yang bertahan dengan terus mengembangkan ke desa-desa lain. Mulai stabil itu sekitar tahun ketiga. Persentase kelompok yang bubar juga semakin mengecil," jelas Nani.

Pemberdayaan perempuan bukan perkara mudah. Hambatannya tidak hanya faktor eksternal, tapi kepercayaan diri perempuan itu sendiri. Di tahun pertama, Pekka hanya ada di empat provinsi, yakni Jawa Barat, Aceh, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Sulawesi Tenggara. Saat ini Pekka memiliki lebih dari 50 ribu anggota di 20 provinsi. Jumlah anggota yang aktif mencapai 30 ribu orang. Nani mengaku prosesnya bertingkat. Ia merekrut teman-temannya yang berusia muda menjadi fasilitator lapangan.

"Saya latih bagaimana cara memotivasi perempuan-perempuan ini untuk bergabung dalam kelompok dan bersama-sama menghadapi masalahnya, diorganisasi, belajar, dan memperkuat dirinya. Teman-teman ini memang berasal dari sana, misalnya, di Aceh, fasilitator atau pendamping lapangannya juga dari Aceh, kalau di NTB juga orang dari NTB, jadi mereka bisa bahasanya," papar perempuan yang hobi bernyanyi dan berolahraga tersebut.

Beda kultur
Ternyata setiap daerah memiliki persepsi tersendiri soal janda. Di Aceh, misalnya, perempuan yang berstatus janda diayomi. Janda di wilayah berbasis Islam itu yang menikah kembali akan terkesan sangat buruk meskipun usianya masih muda. "Di Aceh janda tidak mengalami stereotip, tidak mengalami pelecehan. Janda sangat disayangi masyarakat dan rata-rata janda di Aceh itu karena suaminya terbunuh dalam konflik," ujarnya. Itu berbeda dengan Jawa Barat yang memiliki tradisi kawin cerai tinggi.

Tak mengherankan bila ada pandangan janda ialah perempuan tidak benar. "Jadi, ada perempuan yang masih muda, misalnya, di bawah 30 tahun itu menikah sampai 7-8 kali dan itu kita temui. Jadi, pelecehan janda seperti dianggap sebagai perempuan yang tidak benar," ceritanya. Sementara itu, di NTT, lanjut Nani, tidak ada tradisi cerai. Cerai di daerah berbasis katolik itu dilarang gereja.

Pernikahan hanya sekali dan untuk seumur hidup. Namun, karena adat di NTT sangat kuat yang mengistimewakan kaum laki-laki, terkadang kaum laki-laki di NTT berperilaku sesuka hati. Mereka kadang meninggalkan istri tanpa status yang jelas. "Di sana janda-janda itu sangat kuat mentalnya. Statusnya tergantung, misalnya, suaminya sudah pergi sembilan tahun dan tidak ada kabarnya, tidak pernah memberi nafkah, tetapi dia tetap menunggu dan berstatus sebagai istri orang," ujarnya.

Sementara itu, di NTB, pernikahan banyak dilakukan secara agama, tidak secara negara sehingga poligami mudah terjadi. Seluruh daerah itu punya persamaan.
Posisi para janda itu lemah, tidak bisa menuntut harta gana-gini karena mayoritas tidak tercatat negara. Mereka juga menghadapi masalah kemiskinan dan keterbelakangan pendidikan. "Jadi, rata-rata janda-janda ini buta huruf, 65% komunitas kita waktu itu buta huruf, kemudian mereka terkucil dari sistem mainstream. Selain terkucilkan, mereka sibuk sekali karena mereka kan harus cari nafkah, jadi bekerja dari pagi dan mereka juga minder karena merasa tidak sama dengan orang lain," kata Nani.

Ada tiga hal, tegas Nani, yang dapat dilakukan untuk mengubah kehidupan para perempuan kepala keluarga itu. Pertama, perempuan itu harus memperkuat diri dan mengubah cara pandang terhadap dirinya. Kedua, peran masyarakat. Masyarakat harus melihat janda bukan sebagai objek, melainkan subjek penting dalam keluarga itu. Ketiga ialah peran negara. "Negara harus menarasikan dan menyatakan secara tegas perempuan kepala keluarga ini dalam data, berapa sebenarnya jumlah perempuan yang menjadi kepala keluarga. Data pemerintah 14%, sedangkan data kami itu 24%. Jadi, seperempat keluarga itu dikepalai perempuan di Indonesia," ujarnya.

Bila pemerintah ingin menyelesaikan masalah kemiskinan di Indonesia, ujar Nani, mereka harus fokus pada perempuan kepala keluarga. Pemerintah juga harus punya kebijakan, terutama perlindungan. "Misalnya, pernikahan itu harus dicatat sehingga perempuan punya kepastian hukum. Kemudian ada perlindungan sosial terhadap hak-hak mereka, contohnya, mereka kehilangan suami, mereka harus segera diakui, misalnya, program-program khusus untuk mereka, contohnya, ekonomi, pendidikan untuk anaknya. Jadi, ada sistem penyelamatan sosial," pungkas Nani. (M-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya