Ilham Habibie: Lebih Berat Jadi Musikus daripada Insinyur
RETNO HEMAWATI
06/1/2016 00:00
(Dok.Pribadi)
PUTRA pertama Presiden ketiga Indonesia BJ Habibie, Ilham Akbar Habibie, 52, pernah memendam keinginan untuk menjadi musikus. Ilham mempunyai minat yang sangat besar di dunia musik dan belajar piano saat usianya lima tahun.
"Sejak kecil saya pernah konser di depan ribuan orang dan mengikuti perlombaan di Eropa. Saat itu saya bahkan bermain piano dengan sangat intensif hingga 8 jam sehari," kata dia kepada Media Indonesia, beberapa saat lalu.
Namun sayang, keinginannya menjadi pemusik harus diredam. "Selain karena menjadi pemusik harus mengorbankan segalanya, bapak saya juga mengatakan sekaligus meyakinkan bahwa karier saya bukan sebagai musikus, melainkan insinyur," kata dia.
Menjadi pemusik kelas dunia, bagi Ilham, juga merupakan hal yang sangat sulit. "Jadi musikus itu lebih berat daripada insinyur karena insinyur ada pekerjaan tetap, ada pendapatan. Musikus juga ada, tapi jauh lebih berat," kata dia serius.
Meski demikian, musik tetap menjadi hobi bagi penggemar Wolfgang Amadeus Mozart, Ludwig van Beethoven, Frederic Chopin, dan Sebastian Bach itu. "Saat ini di kala ada waktu saya memainkan lebih dari sekali sepekan, tetapi bisa sebulan tidak main piano, saya tidak punya waktu," cerita dia.
Yayasan Habibie & Ainun Meski tidak punya cukup waktu untuk bermain piano, melalui Yayasan Habibie & Ainun yang didirikan pada 11 Agustus 2013 bersama dengan sang ayah dan adiknya, Thareq Kemal Habibie, ia mempergelarkan pertunjukan musik klasik untuk waktu-waktu tertentu.
Yayasan Habibie & Ainun dibuat mula-mula setelah terbitnya buku dan dirilisnya film Habibie Ainun yang mampu menyedot perhatian lebih dari 5 juta penonton. Berangkat dari itu, publik mengetahui sang ayahanda aktif di bidang seni budaya. "Itu sama sekali jauh dari citra bapak yang selama ini dikenal sebagai teknokrat, cendekiawan, dan aktif di Habibie Center," kata suami Insana Ilham Habibie itu.
Dia kemudian berkisah jauh sebelum itu ayahnya aktif menulis puisi, rajin menggubah lirik lagu, dan bermain band di masa sekolah. "Ayah saya menyanyikan lagu dari Amerika, seperti Love Story (Whe Do I Begin)-nya Andy Williams, tetapi liriknya diubah dalam bahasa Indonesia," ucapnya tersenyum. Dia juga memuji keindahan suara sang ayah dan melontarkan ungkapan demikian, "Ayah saya bersuara bariton, bariton yang hangat. Orang bilang seperti Sam Saimun, penyanyi Indonesia era 1950-an," kata lulusan Universitas Chicago itu.
Yayasan tersebut kemudian menitikberatkan konsentrasi pada bidang musik klasik bernuansa Indonesia dan literatur. Telah dua kali dalam kurun dua tahun, yayasan itu memesan lagu pada komponis Ananda Sukarlan. Yang pertama lagu bernuansa Jawa Tengah, kemudian pada tahun kedua dari Bugis dan Gorontalo. Sayangnya, bidang literatur di yayasan tersebut kurang berkembang. "Kami memang tidak aktif mencari," kata ayah tiga anak itu.
Meski demikian, yayasan itu pernah mengirimkan penyair Agus R Sarjono untuk berkarya selama kurun Mei hingga Juni 2015 di Jerman.
"Kami mendukung tiket, uang jajan, menjalin kerja sama dengan pihak di Jerman. Sekarang karyanya telah menjadi buku dan menjadi naskah untuk pentas teater," tutup lelaki kelahiran Aachen, Jerman, 16 Mei 1963 itu. (H-1)