Headline
Penaikan belanja akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 5,4%.
Penaikan belanja akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 5,4%.
SUDAH enam tahun berjalan sejak Senyawa dibentuk pada 2010. Setiap bulan sepanjang tahun, mereka melakukan tur ke berbagai negara dan benua. Duo eksperimental asal Yogyakarta, Rully Shabara (vokal) dan Wukir Suryadi (instrumen) yang menamakan diri mereka Senyawa, menyuguhkan musik dengan genre yang tidak lazim.
Mereka menyebutnya bagian dari genre musik Indonesia. Namun, bukan berarti mereka menggunakan alat tradisional. Itu hakikat berkarya yang dituangkan secara jujur lewat medium musik. Wukir sendiri telah lama bereksperimen dengan instrumen musik ciptaannya, sedangkan Rully memiliki karakter vokal yang sangat unik.
“Ini bukan world music atau tradisional, tapi Indonesia bagian dunia dan ada Senyawa di dalamnya. Kami tidak menjual eksotisme musik Indonesia. Musik senyawa keluar jujur dari hati kami,” ungkap Rully saat ditemui di Palu, Sulawesi Tengah, saat Eclipse Festival, Selasa (8/3).
Musik padat dan berdinamika mampu mereka hasilkan hanya berdua. Elemen alam dan manusia yang konsisten dikolaborasikan dalam unsur lirik dan bermusik menjadi fondasi Senyawa dalam setiap penciptaan album.
“Musiknya selalu dieksplorasi dari alam imajiner saya dengan ingin menjelajah bunyi yang saya sendiri tidak tahu dari mana sumbernya. Akhirnya saya ciptakan alat musik sendiri,” sambung Wukir yang telah menciptakan alat musik berbasis senar dari kendang jawa, bambu, bajak sawah, dan masih banyak lagi.
Duo itu pun terbilang sangat produktif. Hanya empat hari berselang bertemu di sebuah acara bertajuk Yes No Klub, Yogyakarta, album bertajuk Senyawa dilahirkan. Nama itu menjadi cikal bakal nama panggung mereka berdua yang awalnya memakai nama masing-masing.
Selang beberapa bulan perilisan album perdana, tur Australia pun dimulai. Kini mereka tengah mempersiapkan tur Amerika dan Kanada pada Agustus mendatang serta beberapa negara Eropa bulan depan. “Waktu itu (2010) main di Melbourne Jazz Festival. Uang dari sana kami pakai untuk membuat tur kecil di Australia. Kami memang tidak memilih bermain di KBRI atau persatuan pelajar karena tidak berdampak. Kami lebih memilih main di scene-scene underground agar strategi kami tepat sasaran dan berdampak bagi karya,” tutur Rully.
Langkah mereka di luar negeri semakin mantap karena bertemu dengan label rekaman dari Jerman, Morphine, saat Sajero Festival Denmark (2013). Mereka memutuskan tidak mau kontrak eksklusif. Mereka ingin tetap bebas berkarya dan memilih tur. Dua album kini sedang dijalankan bersama. Satu album untuk Senyawa dan satu lagu album solo dari Wukir dan Rully. “Album-album kami kebanyakan direkam saat tur,” tambah Wukir.
Ingin rehat
Walaupun panggung dan pasar luar negeri menjadi agenda utama, mereka berhasrat bisa bermain di dalam negeri. Sayangnya, mereka cukup pintar melihat apresiasi masyarakat yang tidak mungkin menerima dengan serta-merta karya mereka.
Namun, Senyawa tahun ini ingin lebih meluangkan waktu di Indonesia. Khususnya di tanah kelahiran Palu dan Jawa Tengah, seperti Malang, Pacitan, Semarang, dan Yogyakarta. “Apa yang kami lakukan harus dibawa pulang ke kampung. Senyawa ingin punya ruang untuk berproses bagi anak-anak muda untuk mengembangkan diri. Ketika melihat orang berproses itu untuk meningkatkan ilmu kita juga,” ujar Wukir.
Rully pun merasakan hal yang sama. Ia ingin rehat sejenak dari rangkaian tur luar negeri dan rindu untuk berproses membuat sesuatu yang baru. “Tahun ini mulai membatasi tur. Kita pilih yang cocok dengan musik kami saja. Selain itu kami juga harus diperlakukan sama dengan band Eropa dan Amerika. Itu yang kami perjuangkan. Gaji dan hak yang sama untuk festival tahun ini,” ujarnya.
Senyawa pun berpesan kepada band-band Indonesia agar memiliki identitas sendiri dan berani mengeluarkan karya-karya yang jujur. “Band indie sama kiblatnya, rock and roll. Ini bahaya. Bisa-bisa kita tidak punya identitas,” pungkasnya. (TB/M-5)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved