Headline

Presiden Prabowo resmikan 80.000 Koperasi Merah Putih di seluruh Indonesia.

Fokus

Terdapat sejumlah faktor sosiologis yang mendasari aksi tawur.  

Naila Novaranti Kartini Pemberani

Abdillah Muhammad Marzuqi
20/4/2019 06:20
 Naila Novaranti Kartini Pemberani
Naila Novaranti(FOTO: MI/SUMARYANTO BRONTO)

Lahirnya tokoh-tokoh perempuan inspiratif di Tanah Air menjadi penanda bagi keberadaan kekuatan perempuan Indonesia yang secara konsisten meneruskan perjuangan tokoh emansipasi perempuan Indonesia, RA Kartini.

BAGI kebanyakan orang, ketinggian ialah momok menakutkan yang sebisa mungkin dihindari. Namun, berbeda dengan Naila Novaranti, perempuan itu justru sangat menikmati meluncur dari ketinggian dengan modal wingsuit. Sedikit berbeda dengan terjun payung yang menggunakan parasut besar, wingsuit hanya bermodal baju melekat di tubuh.

Keberanian Naila tidak dimiliki semua orang. Ia berhasil membuktikan dirinya sebagai sebagai penerjun perempuan yang mampu memecahkan rekor menjadi satu-satunya penerjun payung dari Indonesia yang melakukan terjun payung dari atas puncak Gunung Everest pada 28 November 2018, tepat hari lahirnya.

Tidak semua boleh mencoba olahraga itu, hanya yang telah mendapat pelatihan khusus yang diperbolehkan sebab risiko cukup tinggi.

"Itu perlu latihan khusus karena wingsuit itu salah satu yang high malfunction. Artinya kecelakaan bisa cepat terjadi jika dibandingkan dengan terjun biasa," terang Naila Novaranti.

Naila Novaranti ialah seorang perempuan indonesia yang menjadi penerjun payung sekaligus instruktur terjun payung di 46 negara. Ia melatih terjun payung di kalangan sipil maupun militer. Pada 2017, Naila bersama timnya berhasil menjuarai seri dunia terjun payung di Florida, Amerika Serikat, yang diikuti 162 tim dari 20 negara, mereka sukses merebut tiga medali emas dan satu trofi.

Terjun taklukkan Everest tidak semudah sekadar loncat lalu melayang di atas ketinggian. Naila harus berjalan 8 jam sehari menuju titik penjemputan helikopter yang akan membawanya sampai 25 ribu kaki. Selain itu, Naila harus menghadapi suhu ekstrem minus 22 derajat. Naila sampai memanfaatkan koyo untuk menghangatkan dirinya.

Seusai terjun dari helikopter juga menyisakan risiko besar. Ia harus beradu dengan cuaca yang tidak terduga. Apalagi Naila melayang di atas tebing terjal. Naila sempat menggalami kejadian antara hidup dan mati.

"Kalau di sana kelihatannya terang, tiba-tiba dia bisa menutup begitu saja. Sampai kemarin sempat beberapa detik payung saya kuncup. Alhamdulillah sih buka lagi," ujarnya sembari ketawa.

Tidak mudah untuk mendapat izin terjun taklukkan Everest. Medan yang dihadapi tidak mudah dengan risiko tinggi. Ditambah lagi, tidak ada pilihan untuk tempat mendarat. Pendaratan hanya dilakukan di tempat sama saat lepas landas. "Jadi bagaimanapun, apa pun, saya harus pulang. Karena tidak ada optional landing. Saya harus terbang di mana saya take off. Tidak punya tempat lain lagi," ujar Naila.

Jika penerjun yang mendarat di sembarang tempat, penjemput harus membawa bodybag (kantong mayat). "Jemputnya pakai bodybag," tandasnya. (M-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Triwinarno
Berita Lainnya