Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
TAICHING: Srintil bukan tokoh yang baru dikenalnya karena ia pernah membaca cerita tersebut yang diterbitkan secara bersambung pada surat kabar ketika masih duduk di bangku sekolah dasar.
PENYANYI senior Trie Utami, 51, mengaku mempelajari nilai perempuan bermartabat dari tokoh Srintil yang akan diperankannya dalam pertunjukan monolog pada 26 April mendatang di Teater Salihara Jakarta.
Srintil diadopsi dari novel Ronggeng Dukuh Paruk karya budayawan asal Banyumas, Jawa Tengah, Ahmad Tohari. Pada pertunjukan monolog itu akan ditampilkan kompleksitas perasaan perempuan dalam diri Srintil.
"Ada nilai martabat yang saya pelajari dari tokoh Srintil. Misalnya, ketika seseorang punya bakat seperti tarian Ronggeng, di Dukuh Paruk menjadi martabat. Namun, di daerah lain dan bagi orang lain, bisa jadi masalah, dan Srintil adalah seorang perempuan dan penari yang bermartabat," kata Trie Utami di Galeri Indonesia Kaya, Grand Indonesia, Jakarta, Selasa (26/3) petang.
Penyanyi bernama lengkap Trie Utami Sari itu mengatakan, ronggeng hanya merupakan salah satu wakil tradisi yang dianggap jelek, kontroversial, sehingga ronggeng sekarang dianggap sudah tidak ada. Padahal, ujarnya, di masyarakat kesenian tersebut masih ada.
Baca Juga: Trie Utami Lagu Flores di Maumere
"Ada hal yang secara psikologi memuat ada kompleksitas perempuan dengan segala persoalannya. Kami ingin memotret Srintil sebagai perempuan yang tidak bisa menghindar dari garis hidupnya sampai tua. Sisi seorang ronggeng yang harus dilihat sama oleh orang lain," katanya.
Menurut Trie Utami, hal yang paling mengesankan dari Srintil ialah ketika perempuan itu harus melayani laki-laki lain yang tidak ia kenal. Masyarakat akan melihat adegan tersebut sebagai sesuatu yang buruk. Akan tetapi, lanjutnya, masyarakat tidak bertanya bagaimana rasanya jika seorang perempuan melakukan hal itu.
"Tidak ada yang tahu dan bertanya bagaimana rasanya, sakit atau tidak, ternoda atau tidak, melukai martabat atau tidak," tutur perempuan kelahiran 8 Januari 1968 itu.
Saat pertama diajak terlibat dan menjadi pemeran utama dalam monolog Srintil ini, Tri Utami mengaku amat senang sebab meski ia seorang penyanyi, dunia teater bukan hal baru sama sekali baginya. Sebelumnya, ia pernah berperan sebagai Mbok Iyem dalam cerita Ali Topan.
"Dalam proses berkesenian, dunia teater ini tidak terlalu baru buat saya. Hanya memang tingkat kesulitannya tinggi. Pada monolog Srintil ini saya harus memerankan sedikitnya tujuh karakter. Seperti ada sensasi tersendiri tentunya," katanya.
Dengan penulis
Cerita Srintil bagi adik musikus Purwacaraka itu juga bukan baru dikenalnya. Ia pernah membaca cerita tersebut yang diterbitkan secara bersambung pada salah satu surat kabar harian nasional ketika ia masih duduk di bangku sekolah dasar (SD). Oleh karena itu, ia begitu mengenal karakter Srintil.
Meski demikian, untuk pendalaman karakter, ia membaca ulang trilogi Ronggeng Dukuh Paruk. "Saya menangkap karakter Srintil sebenarnya adalah orang yang kasihan, tapi dia narsis juga. Saya berkesempatan membicarakan latar belakang Srintil dengan penulisnya, Pak Ahmad Tohari," katanya.
Dalam monolog tersebut Trie akan menampilkan Srintil dengan durasi 1 jam dan 70 menit. Untuk penampilannya itu, ia berlatih sangat intens dan banyak mendiskusikannya dengan tim. Ia juga meminta tim dan sutradara lebih sabar menghadapinya saat latihan selama dua bulan.
"Prosesnya asyik dan aku sangat menikmati itu. Aku merasa banyak menimba ilmu. Aku ingin rangkaian ini tersaji ke penonton," pungkasnya. (H-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved