Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
Para pelaku restorasi film tak ubahnya seperti pesulap yang menghadirkan ada menjadi tiada dan sebaliknya. Hilangnya goresan pada film lawas atau audio yang semakin jernih ialah berkat keterampilan tangan para aktor yang mengolah materi itu menjadi lebih nyaman untuk dinikmati di masa kini.
Lewat Djam Malam (1954) karya Usmar Ismail ialah satu dari masih sedikit film lawas Indonesia yang telah direstorasi. Setelah rampung pada delapan tahun silam dan sempat tayang di program Cannes Classics pada Festival Film Cannes Prancis, kini hasil restorasi tersebut tersedia dalam format DVD Blu-Ray, dan memungkinkan ditonton lebih banyak orang di dunia.
Pada Juni tahun ini, The Criterion Collection, perusahaan distributor untuk DVD Lewat Djam Malam mengumumkan format Blu-ray film tersebut siap edar pada September bersama kelima film hasil restorasi lainnya dari berbagai negara, yang terkompilasi dalam koleksi World Cinema Project (WCP) No 3 yang salah satunya diinisiasi sineas Martin Scorsese.
Tentu Lewat Djam Malam menjadi salah satu contoh, film hasil restorasi lain juga bisa dinikmati audiens yang lebih luas, bukan hanya di beberapa ruang putar terbatas. Sebelumnya, film dengan judul internasional After the Curfew ini hanya diputar melalui pemutaran keliling ke beberapa ruang putar, termasuk di kalangan mahasiswa.
Bagi Lisabona Rahman, salah satu yang terlibat dalam proyek restorasi Lewat Djam Malam menyebutkan, kolaborasi internasional menjadi penting agar film hasil restorasi juga bisa mencapai audiens yang lebih luas.
"Saya pikir kolaborasi internasional menjadi bermanfaat dan penting, karena selain membawa pengetahuan, tentunya juga funding. Tapi yang penting lagi adalah membawa hasil restorasi tersebut ke audiens yang lebih luas dengan platform yang digunakan untuk mengaksesnya," tutur Lisa dalam diskusi virtual Restorasi untuk Perfilman dan Audio Visual, dalam rangkaian Festival Sinema Prancis 2020 yang digelar Pusat Kebudayaan Prancis di Indonesia IFI, pertengahan bulan lalu.
Beberapa judul film lawas Indonesia yang telah direstorasi selain Lewat Djam Malam, di antaranya adalah Darah dan Doa (1950) yang selesai pada 2013, Tiga Dara (1956) pada 2015, Pagar Kawat Berduri (1961) pada 2017, Bintang Ketjil (1963) pada 2018, dan Kereta Api Terakhir (1981) pada 2019.
Sejauh ini, lembaga negara yang cukup aktif terlibat dalam proyek restorasi film memang berasal dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan lewat Pusat Pengembangan Perfilman (Pusbang Film) yang kini berganti menjadi Direktorat Perfilman, Musik, dan Media Baru. Selain lembaga negara, beberapa pelaku yang sejauh ini ikut merestorasi di antaranya adalah pihak swasta seperti JKT Digital (Jakarta Prima Digital).
Melalui kanal Flik TV, mereka menayangkan beberapa film hasil restorasi mereka seperti Titian Serambut Dibelah Tujuh(1982), Omong Besar (1988), Aku Cinta Padamu (1974), dan Ateng the Godfather (1976). Lembaga independen Sinematek juga tak luput dari kerja restorasi dengan mendigitalisasi beberapa judul yang menjadi koleksi arsip mereka.
"Permasalahan restorasi film-film lawas itu tidak mudah, terutama mendapatkan teknologi yang tersedia. Jadi itu juga sebabnya, kita di Indonesia memang harus hati-hati sekali memilih judul film yang akan direstorasi. Selain itu, permasalahan alur kerja restorasi itu unik, setiap materi memiliki proses dan permasalahan berbeda. Setiap medium dan format punya masalahnya, terkhusus film dengan tingkat kesulitan berbeda," papar Lisa yang mengambil program Magister di bidang film/sinema/video studies di Universiteit van Amsterdam.
Permasalahan lain yang dihadapi, kata Lisa, ialah soal instrumen legal yang mengatur hak kekayaan intelektual (HaKI). Kerap situasi yang ditemui adalah si pemilik karya, baik itu rumah produksinya atau produsernya, sudah tidak ada atau wafat. Ditambah instrumen hukum soal HaKI yang masih belum stabil, menjadi kendala dalam kerja restorasi.
Di negara yang lebih mapan seperti Prancis, misalnya, upaya restorasi bisa dilakukan dengan menjangkau aset arsip yang lebih besar. The Institut National de L'audiovisuel (INA)--lembaga nasional audio-visual Prancis--mengarsipkan seluruh materi siaran, baik televisi maupun radio di Prancis, bukan atas dasar kuratorial mana yang lebih penting.
Kepala Departemen Teknik INA Brice Amoroux mengungkapkan lembaganya sudah mengarsipkan setidaknya dua juta jam program, baik dari televisi maupun radio. Dalam sehari, mereka melakukan kerja pengarsipan selama 24 jam. Fokus utama INA ialah pada aksesibilitas arsip yang dikoleksi mereka terhadap publik.
"Restorasi adalah bagian dari proses. Namun, yang penting diperhatikan dari rangkaian proses lainnya ialah seperti bagaimana kondisi pengarsipan atau penyimpanannya, bagaimana mediumnya dijaga. Bukan soal masalah teknis ketika merestorasi, tetapi juga bagaimana logistik, storage, dan lainnya akan berkaitan pada kualitas hasil restorasi nantinya," kata Brice.
Etika restorasi
Dalam kerja restorasinya tersebut, INA bukan saja berfokus pada materi gambar, melainkan juga pada audio. Untuk pengerjaan materi yang direstorasi, ada beberapa etika yang juga harus dipatuhi. Misalnya dalam merestorasi materi suara, Brice menyebut tidak boleh mengabaikan bising dari suasana ketika suara tersebut direkam. Justru, kebisingan itu harus tetap dipertahankan, alih-alih dibersihkan. Yang dihilangkan ialah ketidakjernihan dari faktor teknis layaknya goresan yang ada pada materi visual. Prinsipnya, tetap mempertahankan materi orisinal.
"Selalu setia dengan yang aslinya. Kami hanya menghilangkan cacat akibat dari penuaan mediumnya. Tidak menginterpretasikan ulang dari suara. Jadi ketika mixing, jangan sampai menghilangkan suara asli rekaman," terang Brice.
Ia, misalnya, mencontohkan salah satu materi rekaman dalam sidang Nelson Mandela, antara yang belum dan sudah direstorasi. Dari materi yang belum direstorasi, terdapat cacat beberapa bagian suara. Setelah direstorasi, rekaman tersebut menjadi lebih jernih. Tapi, suasana di persidangan tersebut tetap muncul, seperti dengungan pendingin ruangan yang terdengar di antara suara Mandela.
Etika restorasi tersebut juga ditekankan Kepala Film Lab di CNC (Centre National du Cinma et de l'image anime) Prancis Simone Appleby. Simone mengatakan restorasi adalah upaya duplikasi dari sumber materi, secara akurat dan tepat. Prinsipnya, adalah mendekati aslinya.
"Jika sudah memodifikasi dengan peningkatan dari materi asli seperti pewarnaan, atau remastering suara, itu sudah bukan restorasi," kata Simone. Untuk itu, dalam melakukan proses restorasi, para pelaku terlebih dahulu perlu melakukan riset, agar memahami konteks materi film tersebut pada saat pembuatannya.
Simone menambahkan, saat ini sebenarnya kecerdasan buatan juga sudah dimanfaatkan dalam proses restorasi. Namun, bukan dalam artian piranti itu digunakan untuk menyelesaikan semuanya.
"Tetap membutuhkan sentuhan manual. Karena perlakuan frame per frame itu berbeda. Dari keseluruhan materi, memerlukan perlakuan yang berbeda, tidak bisa secara otomatis selesai dengan perangkat kecerdasan buatan." (M-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved