Headline

Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.

Fokus

F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.

Pasar BRICS Jadi Peluang Indonesia kembali ke Jalur Pertumbuhan 5%

M Ilham Ramadhan Avisena
25/7/2025 02:28
Pasar BRICS Jadi Peluang Indonesia kembali ke Jalur Pertumbuhan 5%
(kiri ke kanan) Menlu Rusia Sergey Lavrov, Presiden UEA Sheikh Mohamed bid Zayed al-Nahyan, Presiden RI Prabowo Subianto, Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa, Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva, PM India Narendra Modi, PM China Li Qiang, PM Etio(Biro Pers-Muchlis jr)

GEJOLAK perekonomian dunia imbas perang dan kebijakan tarif dari Amerika Serikat mendorong pelambatan ekonomi dunia, termasuk Indonesia. Itu terlihat dari sejumlah perkiraan lembaga internasional, termasuk pemerintah yang mengoreksi proyeksi pertumbuhan tahun ini. 

Ekonomi Indonesia yang semula diproyeksi mampu mencapai 5,2% pada tahun ini menjadi 4,7% sampai 5%. Itu karena dampak rambatan dari situasi geopolitik dunia dan adanya kebijakan tarif timbal balik yang dikeluarkan AS. 

Namun ekonomi Indonesia disebut tetap bisa melaju menembus 5% pada tahun ini. Ekonom dari Center of Reform on Economic (CoRE) Indonesia Sahara menuturkan, hal tersebut dapat direalisasikan asalkan Indonesia mengoptimalisasi peluang dalam keanggotaan BRICS

"Kalau kita bisa memanfaatkan market access ke BRICS tadi, pertumbuhan ekonomi kita akan membaik ke 5,04%," ujarnya dalam CoRE Mid Year Economic Review bertajuk Terhimpit Perlambatan Domestik, Terguncang Risiko Global, Jakarta, Kamis (24/7). 

Itu karena Indonesia akan mendapatkan akses pasar BRICS yang selama ini dipandang kurang optimal. Jika itu dapat direalisasikan, tekanan lain yang menghambat laju perekonomian dapat tergantikan. 

Pemanfaatan akses pasar BRICS juga dipandang akan berdampak positif dalam jangka panjang bagi perekonomian Indonesia. Itu karena Indonesia tak lagi bergantung pada beberapa negara dalam hal perdagangan.

"Diversifikasi ekspor itu diharapkan tidak hanya menggantungkan diri kepada Amerika Serikat saja, tetapi juga ke negara-negara anggota BRICS yang lainnya," kata Sahara. 

"Di situ tadi terlihat ekspor kita bisa meningkat, pertumbuhan ekonomi juga bisa meningkat, tetapi tentu saja membutuhkan sejumlah persaratan, daya saing tadi itu harus meningkat," tambahnya.

Sementara dari sisi domestik, salah satu indikator perekonomian dalam negeri, yakni kinerja industri manufaktur Indonesia diperkirakan masih akan berada di zona kontraktif pada tahun ini. Kendati demikian, di akhir tahun akan ada perbaikan level Purchasing Manager's Index (PMI) manufaktur Indonesia. 

Peningkatan PMI manufaktur itu diprediksi terjadi karena adanya peningkatan konsumsi masyarakat di masa Natal dan Tahun Baru (Nataru). Namun tekanan pada industri nasional dinilai masih jauh lebih besar ketimbang prospek positif di akhir tahun tersebut. 

Itu karena kendati tarif dagang yang diberikan oleh AS ke Indonesia paling rendah di ASEAN, dari sisi daya saing produk manufaktur Indonesia masih tertinggal dari negara tetangga pada sisi harga dasar. 

"Tarif dasar untuk produk tekstil Indonesia itu sekitar 5% sampai 15%. Sementara Vietnam 0%. Kompetisinya makin besar di industri tekstil dan produk tekstil. Jadi sangat mungkin masih kontraksi," kata Direktur Eksekutif CoRE Indonesia Mohammad Faisal. (Mir/E-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Mirza
Berita Lainnya