Headline
RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian
Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.
DI tengah memanasnya ketegangan perdagangan global dan persaingan geopolitik antarblok ekonomi, Indonesia dihadapkan pada empat agenda strategis, yaitu penyelesaian IEU-CEPA, aksesi ke OECD, keanggotaan BRICS, dan tensi perang tarif dengan Amerika Serikat. Keempat isu tersebut harus diposisikan secara komplementer, bukan berdiri sendiri.
Kepala Pusat Kajian Iklim Usaha dan Rantai Nilai Global LPEM Universitas Indonesia Mohammad Dian Revindo menyampaikan, keanggotaan Indonesia di BRICS harus dimaknai sebagai langkah penyeimbang terhadap dominasi negara-negara Barat seperti AS, Uni Eropa, dan Jepang dalam menentukan aturan main perdagangan dunia.
"Keanggotaan di BRICS seharusnya ditempuh Indonesia sebagai penyeimbang akan dominasi AS, Uni Eropa, dan Jepang dalam menentukan aturan main perdagangan dunia," ujarnya saat dihubungi, Minggu (13/7).
Namun ia menekankan, efektivitasnya baru akan terasa jika BRICS benar-benar bertransformasi menjadi blok perdagangan dan kerja sama ekonomi yang lebih dalam.
Menurut Revindo, status keanggotaan BRICS juga dapat dimanfaatkan untuk memperkuat posisi tawar Indonesia dalam aksesi ke OECD dan mendorong penyelesaian perjanjian perdagangan seperti IEU-CEPA.
"Keanggotaan BRICS sebaiknya digunakan sebagai daya tawar Indonesia agar lebih cepat menjadi anggota OECD, mendapat akses pasar yang lebih luas dalam IEU-CEPA dan mendapat tarif yang lebih rendah dari AS," kata dia.
Di sisi lain, Revindo menyoroti pendekatan Indonesia dalam negosiasi dengan AS belum menunjukkan hasil yang signifikan. Meski Indonesia berupaya menarik AS dengan komitmen impor produk mereka, respons balik masih minim.
Sebagai alternatif, Revindo menyarankan agar Indonesia menjajaki skema kerja sama bilateral yang lebih konkret dengan AS. Ia mengusulkan perjanjian perdagangan terbatas atau preferential trade agreement (PTA) sebagai langkah pragmatis. Namun, untuk mengantisipasi kebuntuan negosiasi, diversifikasi pasar ekspor harus segera diperkuat, termasuk lewat BRICS.
Negosiasi IEU-CEPA sendiri saat ini dinilainya masih dalam tahap awal. Walaupun akan mencakup penghapusan tarif terhadap sekitar 80% produk, banyak aspek non-tarif yang belum diselesaikan.
"Konsep CEPA sebenarnya jauh lebih dari sekadar penghapusan tarif. Di situ meliputi technical barriers to trade, dispute settlement, hak kekayaan intelektual, hingga investasi," ujar Revindo.
Dari sisi Indonesia, kesepakatan ini bersifat strategis karena dapat menjaga daya saing produk dalam pasar Eropa. Tanpa CEPA, Indonesia berisiko tertinggal dari sesama negara ASEAN, seperti Vietnam dan Singapura yang telah lebih dulu menjalin FTA dengan Uni Eropa.
Meski Indonesia telah mencatat surplus perdagangan dengan UE, yakni US$4,5 miliar pada 2024 dan US$2,6 miliar pada 2023, tantangan utama tetap datang dari hambatan non-tarif. Produk unggulan seperti sawit, karet, perikanan, furnitur, kakao, dan kopi masih menghadapi TBT, SPS, serta regulasi RED II dan EUDR dari UE.
Sementara dari sisi Eropa, produk mereka ke Indonesia bersifat mahal dan berteknologi tinggi, sehingga potensi ekspansi pasar masih terbatas. UE diprediksi akan mengincar isu-isu lanjutan seperti larangan ekspor mineral, TKDN, dan keterlibatan dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah Indonesia.
Dengan waktu dua tahun menjelang implementasi CEPA pada 2027, Revindo menilai Indonesia harus segera menyiapkan kapasitas domestik, terutama SDM dan lembaga sertifikasi, agar mampu memenuhi standar mutu Eropa. "Pelatihan untuk badan karantina atau sertifikasi perlu segera dilakukan agar bisa mendapat pengakuan EU," jelasnya.
BRICS jadi pelengkap
Di tengah perubahan lanskap global, BRICS juga dinilai menjadi peluang penting. Blok ini mencakup 37% PDB dunia, 46% populasi, serta menguasai hampir seperempat ekspor-impor global. Keberadaan New Development Bank di dalam BRICS juga dapat menjadi alternatif pendanaan bagi Indonesia.
Namun, Revindo mengingatkan bahwa saat ini BRICS belum seefektif G7 atau OECD dalam menghasilkan kebijakan konkret. Oleh sebab itu, Indonesia perlu aktif mendorong BRICS agar membahas pengurangan hambatan tarif dan non-tarif, mengembangkan kerja sama SDM, beasiswa, riset, investasi, dan sistem keamanan bersama.
"Indonesia juga harus tetap menjaga posisi non-blok, dan menjadikan BRICS sebagai pelengkap, bukan pengganti, hubungan dengan negara-negara Barat," pungkas Revindo.
Langkah tersebut, menurutnya, akan memastikan Indonesia tetap berada di jalur politik luar negeri bebas aktif, sambil terus mendorong agenda kepentingan nasional di panggung global. (Mir/E-1)
Keputusan tarif tersebut telah dirancang jauh sebelum Indonesia secara resmi diterima sebagai anggota penuh BRICS.
Pengamat Nilai Indonesia akan Mengutamakan Market BRICS Dibanding AS
KETUA Umum Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Sutrisno khawatir bahwa Indonesia berpotensi dikenakan tarif impor AS lebih tinggi karena masuk BRICS.
Presiden Prabowo dan Menko Airlangga hadiri KTT BRICS 2025, dorong multilateralisme, reformasi global, dan perkuat kerja sama negara Global South.
Presiden Subianto mengundang Presiden Brasil Luiz InĂ¡cio Lula da Silva merayakan ulang tahun di Indonesia pada Oktober 2025
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved