Headline

Presiden Prabowo resmikan 80.000 Koperasi Merah Putih di seluruh Indonesia.

Fokus

Terdapat sejumlah faktor sosiologis yang mendasari aksi tawur.  

Jangan hanya Keringanan Pajak

MI/WIBOWO
27/9/2015 00:00
Jangan hanya Keringanan Pajak
(ANTARA)
PEMERINTAH berencana menurunkan pajak korporasi dari 25% menjadi 18%. Pembahasan mengenai penurunan pajak tersebut juga menyangkut tax amnesty yang akan menjadi paket kebijakan pemerintah. Ketua Umum Kadin Indonesia Suryo Bambang Sulisto mengakui keringanan pajak akan membantu pelaku usaha untuk tetap bertahan (survive) menghadapi lesunya perekonomian yang ditimpali depresiasi kurs rupiah. Namun, hal itu tidak menjamin pelaku usaha akan menghentikan aksi pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan.

"Ini bukan hanya salah faktor penentu," kata Suryo ketika dihubungi Media Indonesia di Jakarta, kemarin.

Suryo mengatakan, keringanan pajak hanyalah salah satu dari lima faktor yang biasa dikeluarkan negara saat menghadapi kesulitan ekonomi. Selain penurunan pajak, pemerintah harus mempercepat belanja negara yang akan menggairahkan pelaku usaha dan juga penurunan suku bunga. Hingga kini, Bank Indonesia (BI) tetap mempertahankan suku bunga acuan (BI rate) 7,5% dengan suku bunga deposit facility 5,5% dan lending facility 8%.

Dia juga meminta pelonggaran likuiditas untuk membantu pelaku usaha agar mendapatkan pinjaman. Terakhir ialah restrukturisasi perusahaan yang sedang kesulitan. "Pinjaman bisa direstrukturisasi, jangan langsung dipailitkan atau disita," ujar Suryo.

Pada kesempatan terpisah, anggota Dewan Pertimbangan Presiden Suharso Monoarfa menyadari paket kebijakan yang telah dikeluarkan pemerintah mungkin masih dianggap kurang bagi pelaku usaha. Namun, insentif perpajakan yang terlalu agresif dia anggap bisa memengaruhi pengurangan porsi belanja negara.

"Tapi dunia usaha butuh insentif dan dunia usaha tak boleh tertekan dengan pajak," kata dia dalam diskusi di Jakarta, kemarin.

Menurut Suharso, pemerintah akan mempertimbangkan skenario tertentu untuk meng-antisipasi risiko fiskal bila target pajak tak tercapai.

"Kalau target pajak tidak tercapai, selisihnya akan ditutup dengan apa. Kalau risiko fiskal tak ter-manage, kita perlu ambil langkah dengan tambahan pendanaan dari liabilities.

"Terlepas dari target pajak, dia mengatakan pemerintah berfokus mempertahankan konsumsi masyarakat. "Karena konsumsi berkontribusi 58% terhadap PDB (produk domestik bruto)," kata dia.

Terlalu tinggi
Pada kesempatan yang sama, pengamat ekonomi Didik J Rachbini menganggap target penerimaan pajak dalam revisi asumsi makro 2016 masih terbilang tinggi sehingga mendapat reaksi negatif atas kepercayaan pasar terhadap pemerintah. "Relaksasi itu penting, paling tidak selama setahun dua tahun, terutama terhadap cukai dan pajak," katanya.

Dia mengumpamakan kenaikan target pajak dan cukai berdampak negatif terhadap industri tertentu, seperti industri tembakau. Akibatnya, penjualan dan volume produk rokok yang terjual sudah mulai mengalami pertumbuhan negatif. "Ini berbahaya, insentif perlu segera diberikan kepada industri," kata dia.

Dalam RAPBN 2016, pendapatan negara ditargetkan sebesar Rp1.848,1 triliun. Sebanyak Rp1.565 triliun merupakan target penerimaan pajak. Namun, DPR meminta pemerintah agar menurunkan target penerimaan pajak karena terlalu ambisius dan tidak begitu realistis. (Jay/E-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya