BANDENG makassar, pangkep, hingga barru, mulai pukul delapan malam hingga subuh, dipertemukan di Pasar Sentral Ikan Bandeng di Desa Mappasile, Kecamatan Pangkajene, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan. Bandeng-bandeng beraneka ukuran ditempatkan dalam keranjang, ditransaksikan dalam sistem pelelangan. Ada 20 pungawa, pengepul besar bandeng yang beroperasi di sana. Pelanggan mereka, pengusaha rumah makan, pedagang di pasar hingga industri rumah tangga pengolahan bandeng yang tersebar di penjuru Pangkep.
Ketika matahari mulai terbit, bandeng-bandeng itu berpindah tempat menuju lokasi perniagaan di pasar, dapur-dapur rumah makan, serta lokasi produksi pengusaha pengolahan ikan bandeng. Relasi Pangkep dan bandeng juga bisa diamati dan tentunya dinikmati di sepanjang jalan-jalan besar kabupaten yang namanya diambil dari kependekan Pangkajene dan Kepulauan itu. Rumah-rumah makan dengan pembakaran yang menguarkan asap beraroma sedap itu menyuguhkan bandeng bakar sebagai menu kebanggaan. Tentunya, dengan ikon kuliner lainnya, sup saudara, hidangan berkuah yang memadukan daging sapi dan jeroan dengan bihun.
Abon oleh-oleh Di pagi hari pula, ketika bandeng segar datang, kesibukan di rumah Muhammad Husain, 45, dan Mardiana, 40, pengusaha Abon Assyifa, dimulai. Ikan dibersihkan, disiangi, dibumbui, dimasak, hingga dikeringkan untuk menghilangkan kandungan minyak. Selain chanos-chanos dalam bahasa Latin atau bolu, sebutan warga lokal untuk ikan ini, keduanya juga mengolah tuna yang juga berasal dari lautan di kawasan Pangkep. Kabupaten itu memang kaya teripang, lemburu, pari, hingga tuna. Kendati mengaku masih berskala rumah tangga, hasil keterampilan mengolah hasil laut dan memadukannya dengan teknik mengolah rasa karya keduanya bisa dijumpai di berbagai toko oleh-oleh.
Assyifa bisa dibeli di kawasan Somba Opu, Makassar, Sulawesi Selatan, hingga di Toko Sakti, Bandara Internasional Sultan Hasanuddin, tempat Media Indonesia mencicipinya pertama kali. Hasilnya gurih, dengan cita rasa ikan yang terasa benar dan paduan rasa pedas yang tipis. Assyifa menghadirkan cita rasa Sulawesi Selatan yang utuh, kaya ikan dan gemar dengan makanan pedas menggigit. Sebanyak 200 hingga 300 kilogram ikan diolah pengusaha di Mandacingi, Pangkep, itu setiap pekannya, dibantu tiga karyawannya.
Setelah ia beroperasi sejak tiga tahun lalu, berawal dari tiga hingga empat kilogram ikan, kini mesin pengering telah dibeli. Keuntungan yang bisa diraih, Rp400 ribu per sekali produksi. "Yang masih perlu dikembangkan, area pemasaran. Sekarang ini, kalau kami iklan, penjualan naik, tapi setelah itu, turun kembali. Inginnya bisa naik terus sehingga bisnis ini bisa jadi mata pencaharian utama kami," kata Husain yang selain membesarkan bisnisnya juga masih bekerja sebagai karyawan itu.
Kucuran dana Rp12 juta dengan bunga 0,5% per bulan yang dilunasi selama dua tahun dari Semen Tonasa pun berhasil mendongkrak roda bisnis Assyifa. Logo dan tulisan 'Binaan Semen Tonasa' yang menandakan pebisnis UKM itu menjadi bagian dari Tonasa Bersaudara, program pertanggungjawaban sosial Semen Tonasa, juga berhasil menarik perhatian para pemburu oleh-oleh. "Karena abon ikan seperti ini sudah banyak juga yang produksi, kami harus tampil beda di rasa dan penampilan. Kami ingin nantinya tidak hanya di toko oleh-oleh, tapi Assyifa juga bisa ditemui di supermarket-supermarket," kata Husain.
Batari,kebanggaan Pangkep Ketika Assyifa telah eksis di toko oleh-oleh, dan dibawa para pelancong yang mampir ke Makassar ke berbagai penjuru negeri, Ratnawati Mentari, 33, pengusaha bandeng tanpa duri, juga dari Pangkep, sudah punya pasar tetap yang mesti dipenuhi ordernya, sebanyak 900 hingga 1.000 ekor per minggu. Kesibukan produksi bandeng olahan itu dilakukan di kolong rumah panggung Ratna. Sebanyak 15 pekerja berbagi tugas, membersihkan, menyiangi, menyisiki, dan yang paling vital, mencabut duri dengan gunting anatomi hingga kemudian mengemasnya dalam plastik dengan teknik pres dan vakum untuk memperpanjang kesegarannya.
Mencabuti tulang ikan bandeng, yang kerap menciutkan nyali mereka yang tak percaya diri menyantap ikan dengan koleksi duri besar hingga halus di tubuhnya, itulah yang sejak 2013 menjadi bisnis Ratna. Alumnus diploma tiga Teknologi Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Universitas Hasanuddin, Makassar, serta strata satu program studi yang sama di Universitas Muhammadiyah Kendari itu memang sejak awal berniat konsisten bisa mandiri berbasis bahari. Pernyataan Bupati Pangkep Syamsuddin A Hamid tentang potensi tanah kelahirannya, udang windu di peringkat satu, bandeng di nomor dua, serta jeruk besar alias jeruk bali, menggugahnya.
"Lalu, saya jajaki dengan teknik pengolahan bandeng dengan dicabut duri. Pertama kali coba, seperti juga pengusaha lainnya, saya masih menggunakan pinset biasa, mencabuti satu per satu duri. Waktunya bisa sampai 1 jam," kata Ratna yang kini bersama suaminya menjadikan bisnis ini sebagai mata pencaharian.
Sistem Filipina Seorang seniornya mengabari Ratna tentang teknologi cabut tulang yang diistilahkan sistem Filipina, negeri yang dikenal dengan produsen bandeng papan atas di lingkup global. Mereka juara dalam volume produksi serta berbagai teknik pengolahannya. Peranti yang digunakan di Filipina bukan pinset, melainkan gunting anatomi yang lazim digunakan tenaga medis. Setelah berlatih, Ratna pun mantap berpindah pada gunting yang biasa dibelinya di Makassar, yang berjarak sekitar 60 km dari Pangkep itu.
"Dengan gunting, bisa cabut 15 hingga 20 tulang sekaligus sehingga total 164 tulang dicabut hanya 5 menit, kalau pakai pinset, sejam belum tentu bisa tuntas. Tantangannya, jika belum terampil, daging bisa terkoyak dan terburai. Total waktu pengolahan bandeng tanpa duri dari mulai pembersihan, pencabutan duri, hingga pengemasan hanya 15 menit," kata Ratna.
Berdayakan perempuan Pengurangan waktu kontak bandeng dengan tangan manusia itu, kata Ratna, membuat produknya juga lebih higienis. Hasil kerja keras belajar, menularkan keterampilan pada karyawan dan melengkapi peralatan dengan mesin pres dan vakum, membuat Ratna yakin jika bisnisnya yang dinamai dengan merek Batari, kependekan dari bandeng tanpa duri, yang dikelolanya menjadi yang paling konsisten dan terbesar di Pangkep. "Kini Batari jadi oleh-oleh Pangkep. Dari masyarakat biasa hingga pejabat Pangkep selalu menjadikan Batari sebagai oleh-oleh bagi tamunya. Karena Batari termasuk ikan segar, konsumen harus membumbui dulu sebelum dimasak, tapi yang jelas, enak karena bisa makan daging ikan bandeng yang gurih tanpa takut duri. Berdasarkan penelitian, kandungan gizinya enam kali lipat salmon lo," kata Ratna.
Harganya Rp10 ribu hingga Rp15 ribu per ekor, bergantung pada ukuran, dengan pilihan ikan bersisik dan tanpa sisik. Ratna juga menjamin seluruh ikan keluaran Batari, kendati diperoleh dari Pasar Sentral Ikan Bandeng, berasal dari tambak yang berada di Pangkep. "Saya selalu memastikan ke para pungawa itu ikannya harus dari Pangkep agar rasanya enak dan tidak bau tanah," ujar Ratna yang mengambil keuntungan Rp2.000 hingga Rp3.000 per ekor bandeng yang dijualnya, dengan pengeluaran Rp2.000 untuk upah borongan para pekerjanya dan modal bahan baku Rp4.000 per ekor. Niat awal membangun bisnis, memberdayakan para istri nelayan dan ibu rumah tangga di sekitarnya, kini menjadi tumpuan rezeki buat keluarga Ratna serta 15 karyawannya dan bandeng pun kian dibanggakan warga Pangkep.