KALANGAN perbankan berancang-ancang memacu gelontoran kredit mereka setelah terbitnya beleid pelonggaran dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Namun, stimulus tersebut harus dibarengi hal lain agar efektif.
Akhir pekan lalu, regulator perbankan itu merilis Peraturan OJK No 11/POJK.03/2015 tentang Ketentuan Kehati-hatian dalam Rangka Stimulus Perekonomian Nasional bagi Bank Umum. Peraturan tersebut diterbitkan antara lain untuk mendorong kredit konsumsi dan kredit UMKM di tengah kelesuan perekonomian nasional sekarang ini.
Dalam peraturan OJK itu, misalnya, bobot risiko untuk kredit beragunan rumah tinggal digeneralisasi menjadi minimal 35%. Bahkan, bobot risiko kredit pemilikan rumah subsidi yang masuk program pemerintah ialah 20%.
Dalam aturan sebelumnya, bobot risiko untuk kredit beragunan rumah dibagi menjadi tiga kelas: 35%, 40%-80%, dan 45%-95%. Penetapannya bergantung dengan rasio loan to value (LTV) dari kredit yang diambil. LTV adalah perbandingan besar kredit yang bisa dikucurkan bank dengan nilai rumah bersangkutan.
OJK juga mengatur bobot risiko kredit kepada UMKM yang dijamin lembaga penjaminan atau asuransi kredit berstatus BUMD hanya 50%. Sebelumnya, bobot risiko kredit UMKM disamakan 75%. Kemudian, direlaksasi pula ketentuan penghitungan kualitas aset bank, yang di dalamnya mencakup kualitas kredit yang akan direstrukturisasi. Itu akan berimplikasi kepada rasio kredit bermasalah (NPL).
Ketua Perhimpunan Bank-Bank Nasional (Perbanas) Sigit Pramono memandang pelonggaran temporer oleh OJK tersebut dapat memacu pertumbuhan kredit perbankan. Selama April-Juni 2015, pertumbuhan kredit perbankan stagnan di laju 10,4%.
Namun, ia menilai kenaikan pertumbuhan kredit itu tidak bisa terlepas dari geliat di sektor riil. Jika belanja pemerintah tetap melempem dan sektor riil tetap lesu, daya beli masyarakat tidak akan terungkit. "Realisasi belanja pemerintah jadi kunci, lokomotif yang menarik sektor lain," ujar Sigit saat dihubungi, kemarin.
Dengan waktu yang tersisa, ia memprediksi stimulus anyar OJK itu tidak akan langsung efektif mendorong pertumbuhan kredit yang diramalnya hanya 14% tahun ini. Dengan pertumbuhan ekonomi nasional sekitar 5%, Sigit menilai idealnya kredit tumbuh 15%-20%.
Menyusul terbitnya stimulus OJK, Dirut BNI Achmad Baiquni mengatakan pihaknya siap menggelontorkan kredit dengan mulai bergeraknya belanja pemerintah belakangan ini. "Ketika belanja pemerintah mulai naik, nasabah tentu butuh modal kerja untuk pengerjaan order yang diterima. Itu akan dorong pertumbuhan kredit."
Hati-hati Kepala Ekonom BCA David Sumual justru mengingatkan perlunya kehati-hatian dalam mengimplementasikan kelonggaran dari OJK. Ia khawatir penurunan bobot risiko yang tidak sebanding dengan kemampuan konsumen dalam membayar kredit yang mungkin sedang rendah dapat meningkatkan rasio NPL. Dari data BI, rasio NPL gross selama April-Juni naik tipis dari 2,5% menjadi 2,6%. (Wan/E-2)