BANK Indonesia (BI) menjelaskan alasan pembatasan aturan pada Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) untuk ikut serta dalam lalu lintas sistem pembayaran seperti bank umum. Alasannya, semakin luas kegiatan usaha yang dijalankan, semakin tinggi manajemen risiko yang perlu dilakukan. Selain itu, BPR dan BPRS dibentuk untuk tujuan yang berbeda dengan bank umum.
“Penetapan kegiatan antara bank umum dan BPRS tergantung filosofi pembentukannya. BPRS ditujukan sebagai community bank yang memiliki orientasi pasar masyarakat sekitar dan diutamakan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) termasuk tempat yang belum terjangkau bank umum,” ujar Kepala Departemen Hukum BI Rosalia Suci dalam sidang pengujian materiil Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah terhadap UUD 1945 di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (10/8).
Ia lebih jauh menjelaskan sistem sistem keuangan di Indonesia belum inklusif. Oleh karena itu, BPR dan BPRS hadir sebagai agen inklusi yang melayani masyarakat di pedesaan dan mendorong pengembangan UMKM. Pembatasan BPR dan BPRS untuk ikut serta dalam sistem pembayaran, sambungnya, bukan dimaksudkan untuk mendiskriminasi. Melainkan, mendudukan aspek proporsionalitas sesuai porsi kegiatan usaha antara bank perkreditan rakyat dengan bank umum.
“Pembedaan antara BPRS dan Bank Umum syariah dimaksudkan agar masing-masing bisa memberikan layanan pada masyarakat sesuai kapasitasnya,” papar Rosalia.
Dari aspek permodalan, menurut BI, BPR dan BPRS relatif lebih kecil dari bank umum syariah. Dengan modal yang terbatas, terangnya, kemampuan untuk menyerap risiko yang timbul dari kegiatan usaha juga terbatas. Hal itu bertujuan melindungi BPR atau BPRS dari risiko yang lebih besar. Apabila BPR dan BPRS ingin melakukan perluasan usaha, sambug Rosalia, dibutuhkan infrastruktur, sumber daya manusia, manajemen likuiditas dan manajemen risiko. Sejauh ini, menurut BI sudah ada 18 BPR dan BPRS yang berizin untuk dapat melayani jasa pembayaran.
Sementara itu, Pengajar dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia Zulkarnain Sitompul yang menyampaikan keterangan ahli mewakili pemerintah, mengatakan aturan main antara BPR dan bank umum dibuat berbeda karena risiko dari masing-masing unit usaha yang dijalankan.
“Ada risiko yang dikelola bank kalau terjadi nasabah berbondong-bodong mengambil uang ke bank (rush money). Agar potensi itu tidak menjadi kenyataan dan masyarakat tetap percaya pada bank, salah satu cara mengatasi risiko itu dengan permodalan,” terangnya.
Semakin besar kegiatan usaha yang dijalankan bank umum, terang Zulkarnain, semakin besar modal yang dibutuhkan untuk memitigasi risiko yang terjadi. Hal itu yang menurutnya membedakan BPR dan BPRS dengan bank umum.
“Rata-rata modal BPR dan BPRS kurang dari Rp15 miliar. Kalau diperbolehkan diperluas kegiatan usahany, persyaratan permodalan BPRS harus diubah dan mendekati persyaratan bank umum. Kalau bank berbentuk perusahaan (Bank umum), menjadi tanggung jawab pemegang saham menyediakan modal itu. Sedangkan untuk BPR dari mana uangnya,” terang dia.
Pengujian materiil UU Perbankan Syariah diajukan oleh PT Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Harta Insan Karimah Parahyangan (BPR Syariah HIK Parahyangan). Materi yang dimohonkan pengujian yaitu Pasal 1 angka 9, Pasal 9 ayat (2) huruf a, Pasal 13, Pasal 14 ayat (10), Pasal 21 huruf d, dan Pasal 25 huruf b, dan huruf e UU Perbankan Syariah. Pasal-pasal tersebut dianggap membatasi dan membedakan perlakuan antara kegiatan usaha yang dilakukan bank konvensional dengan BPR dan BPRS. Untuk melayani masyarakat seperti transfer uang, BPR dan BPRS tidak masuk sebagai pihak yang dapat terhubung langsung dengan gerbang pembayaran nasional (GPN), mereka harus melalui bank konvensional atau bank umum dan bank umum syariah. (OL-13)