Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Pesona komoditas batu bara yang menjadi primadona perlahan terkikis seiring dengan membaiknya pasokan dari produsen besar Tiongkok dan India.
"Hal ini dilakukan kedua negara tersebut untuk kembali menaikan pasokan, agar tidak bergantung impor yang harganya sudah sangat tinggi dan menaikkan pengeluaran. Sehingga kebijakan meningkatkan produksi menjadi jalan yang ditempuh," kata Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus, Rabu (27/4).
Tercatat produksi batu bara Tiongkok tumbuh 10,3% yoy mencapai 1,08 miliar ton pada kuartal I-2022 dengan penurunan impor sebesar 24,2% yoy.
Pada saat yang sama, produksi India tumbuh 8,6% yoy mencapai 777,2 juta ton batu bara dengan penurunan impor hingga 16,4%. Pasokan global juga berpeluang lebih longgar dengan kenaikan produksi kedua negara tersebut.
Dengan dorongan pemerintah Tiongkok untuk menaikan kembali produksi, para produsen diizinkan untuk menjual batu bara dengan harga maksimum 1,5 kali lipat dari harga yang ditetapkan pemerintah yang berada di kisaran RMB570 – RMB770 per ton.
Saat ini fokus utama Tiongkok yaitu menjamin pasokan dalam negeri agar terhindar dari pemadaman listrik seperti yang terjadi sebelumnya. Di sisi lain, Tiongkok juga memutuskan untuk mulai mengurangi PLTU, mengembangkan energi hijau, dan berpotensi terus memangkas impor batu baranya lebih dalam lagi.
Dampaknya terhadap ekonomi dan bursa saham Indonesia yaitu ada potensi kinerja neraca dagang susut, dari yang selama dalam satu kuartal ini tercatat surplus.
"Sebab dengan kenaikan produksi negara tujuan ekspor menjadi indikasi terbatasnya aktivitas ekspor, demikian halnya dengan devisa negara," kata Nico.
Apalagi ekspor CPO akan dilarang per Jumat (28/4) yang diperkirakan akan semakin menggerus kinerja neraca dagang dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Dampaknya sudah cukup terlihat dengan penurunan performa saham energi dalam negeri yang turun sebesar -5,26% dalam sepekan melalui indeks sektoral IDX Energi. Meski demikian, harga kontrak batu bara acuan Newcastle masih bergerak di teritori atas US$328/ton.
Ruang untuk terus bergerak naik bergantung pada sejauh mana sanksi lanjutan yang akan dikenakan kepada Rusia memukul pengetatan pasokan dan pengirimannya.
Volatilitas harga komoditas yang cukup tinggi saat ini mengakibatkan ketidakpastian pasar. Pasalnya, kondisi fundamental tiap negara berbeda-beda. Di samping itu, respon kebijakan perlu diperhatikan dengan sangat hati-hati oleh otoritas.
Demikian juga dengan emiten batu bara yang juga dinilai perlu melakukan diversifikasi bisnis ke energi hijau untuk beradaptasi dengan fokus dunia yang sedang dalam transisi menuju energi hijau agar keberlanjutan usaha dapat tetap terukur sebab kenaikan harga batu bara sifatnya sementara atau tidak akan berjalan secara jangka panjang.
"Apalagi harga yang sudah di pucuk, eksposurnya akan lebih banyak pada penurunan. Perubahan tren akan selalu bergerak, hanya menunggu waktu. Kami melihat Indonesia perlu bersiaga menghadapi penurunan pada sejumlah leading indicator imbas kebijakan dan volatilitas pasar, meskipun bukan turbulensi. Namun, untuk kuartal I-2022 ini diperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap akan kuat. Hanya tinggal memilih, sektor mana yang selanjutnya akan bergerak untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan pergerakan pasar," kata Nico. (OL-12)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved