Defisit Maksimal 3% di 2023 Dinilai Realistis

M. Ilham Ramadhan Avisena
04/4/2022 14:49
Defisit Maksimal 3% di 2023 Dinilai Realistis
Ilustrasi - Deretan gedung perkantoran di kawasan Ibu Kota Negara.(MI/SUSANTO)

UPAYA pengembalian defisit anggaran maksimal 3% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) di 2023 dinilai realistis. Pemerintah meyakini hal itu dapat tercapai dan terjadi sesuai dengan penghitungan yang telah dilakukan. 

Demikian disampaikan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu dalam webinar bertajuk Dinamika Ekonomi Global dan Domestik Terkini, Senin (4/4). 

Baca juga: BKF: Ekonomi Triwulan II 2022 bakal Lampaui 5%

"3% itu kita melihat sangat realistis, bahkan termasuk dengan risiko geopolitik sekarang. Semua skenario sudah kita siapkan, dan dengan hitungan kita, masih cukup nyaman 3% di 2023," tuturnya. 

Febrio menerangkan, pengembalian defisit anggaran ke level 3% tak melulu berpatokan pada angka. Dia menyatakan, hitungan itu juga didasari pada upaya menumbuhkan perekonomian, menurunkan tingkat pengangguran, mempersempit kesenjangan sosial.

Hal itu dilakukan agar upaya penyehatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tak mengorbankan masyarakat maupun ekonomi Indonesia. Karena itu, bermodalkan situasi saat ini, pemerintah optimistis pengembalian defisit maksimal 3% di 2023 dapat terwujud. 

Penyempitan defisit anggaran mesti dilakukan untuk menjamin kedisiplinan fiskal Indonesia. Terlebih bendahara negara telah menggaungkan skema belanja yang berorientasi pada spending better. "Ini adalah logika untuk belanja yang perlu saja. Logika spending ini kita akan terus pertajam," terang Febrio. 

Spending better itu diarahkan pada belanja yang memprioritaskan penguatan kualitas sumber daya manusia. Belanja ditujukan untuk memperkuat kesehatan, pendidikan, dan perlindungan masyarakat di mana manusia menjadi aset paling berharga. 

Lalu spending better juga dilakukan dengan penanaman modal pemerintah pada barang-barang maupun inrastruktur yang amat dibutuhkan publik. Dus, pembangunan sejatinya dilakukan berdasarkan kebutuhan publik untuk menunjang berbagai aktivitasnya. 

Bonusnya, kata Febrio, dari pembangunan itu secara tidak langsung akan mendorong pergerakkan ekonomi. "Jadi pemeritnah muncul karena ada kebutuhan publik. Kalau capital ini sudah kita pegang, maka kita harus lihat juga bayar bunga utang seperti apa, baru kita punya kapasitas fiskal untuk yang lain," pungkasnya. (OL-6)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Astri Novaria
Berita Lainnya