Headline

Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.

Fokus

Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.

Ekonom: Pengawasan dan Pengaturan Aset Kripto Penting

M. Ilham Ramadhan Avisena
20/2/2022 14:16
Ekonom: Pengawasan dan Pengaturan Aset Kripto Penting
Ilustrasi perdagangan uang digital kripto yang juga mulai berkembang di Indonesia.(AFP)

EKONOM Bank Permata Josua Pardede menilai, pengawasan dan pengaturan terhadap aset kripto menjadi penting di tengah pesatnya minat masyatakat untuk berinvestasi pada kripto. Selain memberikan perlindungan kepada konsumen, pengawasan serta pengaturan juga perlu untuk memitigasi potensi risiko yang ada. 

"Diperlukan sosialisasi mendorong investasi aset kripto yang stablecoin, mendorong pembentukan bursa aset kripto, dan dalam rangka memtigasi risiko buble pada aset kripto perlu ada regulator yang mengawasi sehingga membatasi risiko sistemik di pasar keuangan," ujarnya kepada Media Indonesia, Minggu (20/2). 

Baca juga: Termasuk Homestay, Paket Wisata MotoGP Dipatok Rp1,5 Juta/orang

Josua mengatakan, pertumbuhan pesat ekosistem kripto secara umum menghadirkan peluang baru. Inovasi teknologi mengantarkan era baru mendorong pembayaran dan layanan keuangan lainnya lebih murah, lebih cepat, lebih mudah diakses, dan memungkinkan pembayaran melintasi batas dengan cepat. 

Teknologi aset kripto memiliki potensi sebagai alat untuk pembayaran lintas batas yang lebih cepat dan lebih murah. Setoran bank dapat diubah menjadi stablecoin yang memungkinkan akses instan ke beragam produk keuangan dari platform digital dan memungkinkan konversi mata uang instan. Keuangan terdesentralisasi dapat menjadi platform untuk layanan keuangan yang lebih inovatif, inklusif, dan transparan.

Namun, terlepas dari potensi manfaat dari aset kripto, pertumbuhan yang cepat dan peningkatan aset kripto juga menimbulkan tantangan stabilitas keuangan. Untuk pasar negara berkembang dan ekonomi negara berkembang, penggunaan aset kripto yang lebih besar memberikan risiko keuangan makro, terutama yang berkaitan dengan substitusi aset dan mata uang. 

"Kapitalisasi pasar aset kripto telah tumbuh secara signifikan di tengah volatilitas harga yang tinggi. Meskipun apresiasi harga yang signifikan, return aset kripto non-stablecoin kurang mengesankan bila disesuaikan dengan volatilitas. Misalnya, pengembalian Bitcoin yang disesuaikan dengan risiko selama setahun terakhir mirip dengan kinerja ekuitas saham teknologi atau S&P 500," terang Josua. 

Argumen lain yang mendukung aset kripto non-stablecoin adalah korelasinya yang rendah dengan aset lain, menawarkan manfaat diversifikasi bagi portofolio investor. Manfaat diversifikasi juga dapat menurun dari waktu ke waktu jika keterlibatan pemegang institusional terus berlanjut yang dipengaruhi oleh faktor-faktor umum.

Sementara dampaknya pada pasar keuangan domestik ialah kecenderungan volatilitas tinggi dari investasi aset kripto belum sepenuhnya dipahami oleh investor yang pada umumnya investor ritel yang tergiur oleh return tinggi tanpa memahami risiko yang tinggi juga.

"Sejauh ini, share dari investasi di Indonesia cenderung masih lebih rendah dibandingkan dengan investasi aset kripto di negara maju sehingga dampaknya terhadap stabilitas pasar keuangan cenderung lebih terbatas dibandingkan dampak sistemiknya yang berpotensi terjadi di sebagian besar negara maju," jelas Josua. 

Lebih lanjut, dia menilai, pembahasan mengenai Central Bank Digital Bank (CBDC) dalam konferensi G20 mendatang diperkirakan berkaitan dengan bagaimana integrasi dari CBDC ketika mulai diterapkan dalam jangka menengah di banyak negara. Tujuan dari CBDC pada dasarnya merupakan instrumen berguna dalam sistem pembayaran domestik, sejalan dengan dampaknya terhadap efisiensi biaya, inklusi finansial, serta pengawasan dalam sistem pembayaran. 

"Diharapkan dengan adanya pertemuan ini, para pemangku kebijakan dapat membuat salah satu fondasi dan prinsip dalam proses integrasi CBDC, meskipun timeline dari roadmap dari masing-masing negara berbeda satu sama lainnya," ujar Josua.

Bila ditilik dari proyek CBDC Tiongkok, 3 prinsip cross-border payment dari CBDC di antaranya adalah tidak ada efek spillover kepada makroekonomi negara terkait; patuh terhadap regulasi kedua negara; dan adanya interoperability kepada CBDC domestik. Di beberapa negara lainnya, CBDC baru digunakan secara domestik saja, sehingga bila nantinya CBDC diterapkan di banyak negara, diperlukan prnisip-prinsip yang disetujui banyak negara.

Kendati CBDC dapat menjadi alternatif cryptocurrency, imbuh Josua, CBDC bukan merupakan substitusi yang sempurna. Apalagi permintaan aset kripto didorong oleh opportunity dalam volatilitas yang lebih tinggi, sehingga sifat tersebut tidak dapat digantikan oleh CBDC. Oleh karenanya, pembahasan CBDC dalam pertemuan G20 dinilai cenderung tidak dapat membatasi kenaikan permintaan terhadap aset kripto.

"Salah satu yang perlu diperhatikan oleh otoritas terkait dalam konferensi G20 dalam CBDC adalah infrastruktur dan kesiapan masyarakat. BI atau pemerintah juga perlu melihat bagaimana backbone dari jaringan digital di negara yang menerapkan CBDC dan bagaimana memitigasi daerah-daerah yang jarang penduduknya. Hal ini diperlukan guna memastikan akses yang sama untuk pembayaran digital di seluruh Indonesia," pungkas Josua. (OL-6)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Astri Novaria
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik