Headline

Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.

Fokus

Tidak mengutuk serangan Israel dan AS dikritik

CORE Prediksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun Depan Capai 5% 

Fetry Wuryasti
29/12/2021 20:21
CORE Prediksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun Depan Capai 5% 
Pemandangan gedung bertingkat dan pemukiman warga di Jakarta(Antara/Dhemas Reviyanto)

CENTER of Reform on Economics (CORE) Indonesia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi di angka 4%-5% pada 2022. Direktur Eksekutif CORE Mohammad Faisal menilai target tersebut lebih rendah dibanding apa yang telah ditargetkan oleh Pemerintah sebanyak 5,2 Persen. 

"Untuk tahun 2022 kami telah memproyeksikan pertumbuhan ekonomi pada tahun depan akan tumbuh sebesar 4-5 Persen, dan potensi tumbuh di 2022 lebih bagus dibandingkan 2021," kata Faisal dalam konferensi Refleksi Ekonomi Akhir tahun CORE, Rabu (29/12). 

Sebelumnya ia menyebutkan untuk proyeksi pertumbuhan ekonomi di tahun 2021 tumbuh sebesar 3,6%–4% Persen maka di tahun ini diprediksi lebih tinggi. 

"Memang lebih rendah dari target pemerintah, tapi lebih tinggi dibanding 2021 ada banyak faktornya tentu salah satunya adalah sisi pengendalian pandemi lebih bagus," kata Faisal.. 

Sehingga dari mobilitas tidak ada lagi yang menahan sepanjang 2021 dan tidak ada lonjakan di luar ekspektasi dari ketidakpastian. Meski ada varian Covid-19 Omikron, CORE melihat masih terlalu dini dan awam mengetahui dampak ekonomi ke depan 

"Di tahun depan masih kita raba-raba seperti delta jadi masih kita raba-raba tapi kita harus bersiap," kata Faisal. 

Meski demikian, Faisal menjelaskan secara umum pada 2022 seluruh sektor akan lebih baik dibandingkan dengan 2021, termasuk di antaranya sektor ritel yang pada saat pandemi terkontraksi cukup dalam. 

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Hendri Saparini mengatakan pemerintah perlu membuat strategi kebijakan agar peningkatan digitalisasi yang didorong oleh Covid-19 berdampak merata ke seluruh lapisan masyarakat. 

"Perlu ada perubahan mindset, perubahan strategi kebijakan agar peningkatan penetrasi internet juga diikuti dengan peningkatan kue ekonomi yang lebih besar di semua kelompok masyarakat, sehingga pendapatan per kapita meningkat tetapi juga kesenjangan tidak bertambah," kata Hendri. 

Dalam bidang keuangan, sebelum marak financial technology peer to peer lending atau pinjaman online (pinjol), masyarakat telah mengenal Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Dengan keberadaan pinjol, LKM-LKM tersebut dapat tergusur karena tidak mampu berkompetisi dengan cost of fund yang lebih tinggi. 

"Jadi yang harus dipersiapkan adalah bagaimana pemerintah menyiapkan agar hal positif yang terjadi karena digitalisasi ini juga akan memberikan manfaat yang lain," ucapnya. 

Baca juga : Setop Ekspor Bahan Mentah, Industri Smelter Berperan Pacu Nilai Tambah

Menurutnya, perlu diperjelas otoritas yang mengatur LKM maupun pinjaman online, terutama yang bergerak di daerah di level kabupaten atau kota. Di samping fintech, menurutnya, pemerintah juga mesti memperhatikan peningkatan penggunaan loka pasar atau e-commerce. 

Pasalnya, saat ini kebanyakan masyarakat hanya menggunakan jasa e-commerce untuk menjual produk, tetapi produk-produk tersebut merupakan produk impor. Menurutnya, pemerintah perlu membuat strategi berupa kebijakan yang lebih komprehensif agar peningkatan penggunaan e-commerce juga mendorong perbaikan struktur industri manufaktur. 

"Jadi dengan adanya digitalisasi di perdagangan yang memudahkan untuk mendapatkan manfaat di berbagai sektor produk, bahan baku misalnya, jangan sampai kita justru tidak memanfaatkan karena tidak ada strategi kebijakan yang memang memberikan peluang untuk itu," imbuh Hendri 

Sedangkan Research Associate Core Indonesia Dwi Andreas menilai pengembangan ekonomi digital sama sekali tidak memberikan efek bagi para petani kecil. Adaptasi digital itu hanya menguntungkan pelaku usaha skala besar. 

Pihaknya telah melakukan riset terkait dampak ekonomi digital terhadap berbagai lapisan petani, mulai dari yang terkecil hingga pemain besar. Berdasarkan riset itu, ditemukan bahwa petani dengan lahan sempit atau kurang dari 0,5 hektare justru tidak menikmati dampak dari adaptasi teknologi digital. Petani di lapisan tersebut menurutnya kurang terpapar oleh adaptasi teknologi. 

"Petani dengan lahan sempit kurang dari 0,5 hektare apakah mereka menikmati itu Jawabannya 0,00 persen. Ekonomi digital tidak berpengaruh sama sekali, tidak berefek sama sekali terhadap petani kecil," jelas Andreas. 

Lalu, di lapisan petani dengan luas lahan lebih dari 0,5 hektare, tercatat hanya 4,76 persen yang memanfaatkan teknologi informasi. Andreas menilai bahwa angka itu terbilang rendah dan cukup menggambarkan bahwa petani kecil kurang menikmati digitalisasi. 

Petani yang sekaligus bergerak di pengolahan hasil pertanian tercatat 14,29 persen memanfaatkan teknologi. Lalu, individu, organisasi, dan koperasi yang membantu memasarkan produk petani tercatat 28,57 persen memanfaatkan teknologi. 

Jumlah terbesar ada di pedagang dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan bagi mereka sendiri, yakni 42,86 persen memanfaatkan teknologi. Menurut Andreas, temuan itu cukup menggambarkan tren terkini di industri pertanian. 

"Ketika muncul berbagai pemain baru di dunia pertanian, dengan slogannya melindungi petani, memotong rantai pasok, itu tidak dinikmati petani kecil sama sekali. Itu termasuk kategori pedagang dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan bagi mereka sendiri," kata Andreas. (OL-7)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ghani Nurcahyadi
Berita Lainnya