Headline

Presiden Prabowo resmikan 80.000 Koperasi Merah Putih di seluruh Indonesia.

Fokus

Terdapat sejumlah faktor sosiologis yang mendasari aksi tawur.  

Membawa Cinta Kembali untuk Kacang Mete Bali

Fathia Nurul Haq
09/5/2016 08:10
Membawa Cinta Kembali untuk Kacang Mete Bali
(MI/Atet Dwi Pramadia)

ENTAH sebuah kecelakaan atau memang takdir yang membawa Aaron Fishman bersedia ikut dalam program sukarela yang diadakan lembaga swadaya masyarakat di bidang kesehatan untuk menjadi petugas pos pelayanan terpadu (posyandu) di Bali Timur pada medio 2012 lalu.

Jelasnya, hal itu kini telah membawa keberkahan bagi 350 penduduk setempat yang beralih status dari penduduk miskin berpenghasilan kurang dari US$2 (Rp27 ribu) per hari menjadi eksportir kacang mete dengan penghasilan berlipat-lipat.

"Itu kunjungan pertama saya, love at the first sight, Anda bisa catat itu," ujar pria humoris itu kepada Media Indonesia, awal April lalu.

Fishman mengaku awalnya bingung melihat kemiskinan yang sedemikian lekat dengan masyarakat yang dilimpahi kekayaan alam.

Selama menjadi petugas posyandu, ia menyaksikan ibu-ibu setempat berpakaian kurang cakap dan hidup kurang layak.

Padahal, Bali Timur sudah sejak lama menjadi pengekspor kacang mete ke India dan Vietnam.

Kacang mete asal Indonesia pun terkenal sebagai mete dengan kualitas wahid.

Persoalannya, menurut Fishman, ialah Indonesia mengekspor kacang mete gelondong yang kemudian diolah dan dimereki India dan Vietnam untuk diekspor lagi ke berbagai negara.

"Kenapa tidak kita beri nilai tambah? Kemas di sini?" ungkapnya.

Dengan modal nekat dan uang Rp1,5 miliar, ia pun membangun pabrik yang pertama di bawah nama perusahaan East Bali Cashews (EBC).

Semula kapasitas produksi terbatas dan tidak ditargetkan.

Tujuannya hanya memberdayakan masyarakat setempat.

Karena tujuan itu pulalah, 85% pekerja EBC ialah perempuan karena kultur masyarakat Bali yang mengandalkan perekonomian pada perempuan.

Fishman tidak main-main mengelola EBC. Pada tahun keempat, EBC sudah mengekspor kacang mete ke delapan negara, salah satunya Amerika Serikat.

"Saya suka bekerja sama dengan masyarakat Bali. Mereka pekerja keras," kata Fishman.

Setelah bisnisnya berkembang pesat, Fishman pun mencari-cari modal tambahan untuk berekspansi.

Terhitung, sejak 2013 ia menghubungi firma permodalan Kohlberg Kravis Roberts (KKR) yang selanjutnya banyak memberikan dukungan.

Saat ditanya kiat mengembangkan usaha dalam waktu relatif singkat, Fishman berpikir keras.

"Tidak tahu, itu kerja tim. Namun, saya berterima kasih kepada KKR untuk dukungan mereka," tukas pria kelahiran New Jersey, Amerika Serikat (AS), 32 tahun silam itu.

Kesempatan dan kepuasan

Fishman memang amat menggilai bisnis, dunia yang sudah digelutinya sejak 1995.

"Saya umur 13, bisnis pertama saya bisnis kecil di bidang komputer," kenangnya.

Selanjutnya, berbagai bidang bisnis lain, seperti properti dan perhiasan, pun dijajalnya selama sekolah dan kuliah.

Karena itu pula, Fishman bahkan tidak memiliki curriculum vitae (CV) lantaran sejak awal ia lebih tertarik berbisnis ketimbang melamar kerja.

Insting yang sudah terlatih itulah yang membantu Fishman melihat kesempatan yang besar, bukan hanya baginya, melainkan juga bagi masyarakat Bali.

Fishman menegaskan apa yang ia lakukan hanyalah mengelola kesenjangan menjadi sebuah kesempatan besar.

Namun, setelah prosesnya berjalan, ia justru menemukan sisi lain dari kesempatan yang ia dapatkan.

"Rasa bahwa kita bisa mempekerjakan orang lain itu kepuasan sebenarnya. Setiap rupiah (atau dolar) yang kita investasikan pada EBC berarti lebih banyak orang untuk dipekerjakan. Lebih banyak petani yang bisa mendapat manfaat. Itu luar biasa," ungkap pria rendah hati itu.

Menurutnya, EBC memang baru mempekerjakan 350 pekerja di pabriknya.

Namun, di sisi lain, EBC juga melatih 10 pengepul untuk mengajarkan peningkatan kualitas metode bertani kepada lebih dari 3.000 petani lokal di Bali Timur.

Bisnis berbasis lokal yang ia bangun juga membuat keuntungan terdistribusi dengan baik kepada petani, sebab simbiosis mutualisme antara pengepul dan petani harus terbangun untuk mencapai hasil tani yang layak diolah.

Berkat bisnis berbasis lokal pulalah, distribusi produk EBC dapat diekspor ke delapan negara, seperti AS, Jepang, Saudi Arabia dan negara-negara di kawasan asia.

Distributor di negara tujuan ekspor pada umumnya menawarkan diri untuk mendistribusikan setelah 'mencicipi' kelezatan kacang mete enam varian rasa saat bertandang ke Indonesia.

Saat ini EBC sedang menunggu sertifikasi Hazard Analysis Critical Control Points (HACCP) sebelum melebarkan sayap ekspor ke negara-negara nontradisional.

"Kalau tahun-tahun lalu porsinya 90% lokal dan 10% ekspor, tahun ini kita sudah coba untuk switch. Jadi, nantinya 90% kita ekspor," jelasnya.

Kapasitas produksi EBC pun sudah tumbuh pesat dalam 3 tahun dari jumlah yang sangat kecil menjadi 2,5-3 ton per hari.

"Ini lebih tentang dampak sosial daripada keuntungan semata. Itulah inti bisnis ini," tegas Fishman yang sudah mahir berbahasa Indonesia dan sedikit bahasa asli Bali itu.

Karena totalitasnya pula, Fishman meracik sendiri enam varian rasa EBC, yakni sea salt, garlic pepper, chilli crunch, chocolate, native, dan raw.

Itu memang tak mengherankan karena Fishman merupakan penggemar masakan tulen.

Bisnis terakhir yang digeluti Fishman sebelum terpikat dengan Bali Timur ialah kuliner, yakni rumah makan Prancis dan pabrik pengolahan cokelat.

Dari prinsip sociopreneur itu pula, pemerintah 'Paman Sam', negara kelahirannya, menganugerahi Fishman dengan 2015 US Secretary of State's Award for Corporate Excellence (ACE).

Bosan dengan 'Paman Sam'

Lantas apa yang membuat Fishman memutuskan untuk mengemas koper dan jauh-jauh memulai bisnis di Indonesia? Rupanya Fishman merasa bosan.

"Saya bosan dengan Amerika, no more Amerika," tegasnya.

Fishman mengambil langkah berani dengan menjual semua bisnisnya di AS lalu bertualang ke seluruh dunia pada 2011.

Satu tahun kemudian ia bergabung dalam program volunteer yang digagas LSM bertema kesehatan.

Tahun itu merupakan kali pertama Fishman menjejakkan kaki di Indonesia, juga di Bali.

Pada tahun yang sama, Pulau Dewata berhasil merebut hati Fishman dengan keramahannya.

Fishman mengaku berhasil menemukan apa yang tidak ia dapatkan dari berbisnis di tempat lain saat bekerja sama dengan masyarakat Bali.

"Orang Amerika sudah biasa punya bisnis, punya pekerjaan. Tapi orang Bali bahkan tidak bisa bahasa Indonesia, bagaimana dia bisa dapat kerja? Kemudian usaha saya memberi mereka pekerjaan," ungkapnya.

Fishman mengaku tersentuh dengan orisinalitas masyarakat Bali dan perempuan-perempuan pekerja keras yang tak malu memungut kotoran sapi untuk dijadikan pupuk.

"Itu memberi saya perasaan yang lain. Mereka cerita sekarang punya uang untuk beli baju bagus buat pergi ke pura," lanjut penggemar ikan cakalang dan serombotan itu.

Pehobi bermain perahu kayak yang sempat mengajarkan teknik memanggang roti ala Prancis di Jepang itu mengaku begitu tersentuh.

Sociopreneur menurutnya lebih dari sekadar melakukan bisnis.

Karena itu, kepuasan yang didapat lebih dari sekadar mendapatkan uang.

Kegiatannya sama saja. Kita kasih kemasan. Kita kasih rasa-rasa, lalu kita ekspor. Making money, but its more than that," kata Fishman.

Menurutnya, sociopreneur dengan dampak sosial sebesar EBC sulit terwujud di Amerika Serikat.

Negara berkembang seperti Indonesia memiliki kesempatan besar untuk maju dengan memanfaatkan masyarakat lokal dan potensi seperti yang ia lakukan.

"Indonesia sama sekali tidak membosankan," pungkasnya. (E-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya