Penuhi Konsumsi Beras, Pelonggaran Hambatan Perdagangan Diperlukan

M. Ilham Ramadhan Avisena
13/8/2021 13:23
Penuhi Konsumsi Beras, Pelonggaran Hambatan Perdagangan Diperlukan
Ilustrasi - Produksi Beras.(ANTARA)

PELANGGORAN Pelonggaran hambatan perdagangan beras perlu dilakukan untuk memenuhi konsumsi beras nasional yang terus meningkat. Terlepas dari klaim bahwa pasokan beras Indonesia berlimpah dan dapat diakses dengan harga terjangkau, masyarakat Indonesia masih berjuang dengan harga beras yang tinggi. 

Demikian diungkapkan Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Indra Setiawan melalui siaran pers, Jumat (13/8). Menurutnya, Indonesia merupakan salah satu konsumen beras terbesar di dunia. Konsumsi beras nasional per kapita pada 2017 adalah sebesar 97,6 kilogram dan diperkirakan meningkat 1,5% per tahun menjadi 99,08 kilogram per kapita pada tahun 2025. 

Baca juga: Batam akan Bangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya Terapung

Peningkatan itu terjadi seiring dengan laju pertambahan penduduk. Jumlah penduduk Indonesia tercatat 264 juta orang pada 2018, meningkat sebesar 1,27% dari 2017. Sedangkan dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 57/2017, harga tertinggi untuk beras ditetapkan Rp9.450 / kilogram untuk beras medium dan Rp12.800 / kilogram untuk beras premium.

"Dengan demikian, memastikan ketersediaan dan keterjangkauan beras sangat penting untuk memenuhi kebutuhan populasi yang terus bertambah," kata Indra. 

Saat ini, produktivitas beras dalam negeri tidak cukup tinggi untuk menjaga harga stabil dalam menghadapi permintaan Indonesia yang terus meningkat. Produktivitas beras musiman telah mengalami fluktuasi sejak 2013, mencapai rata-rata hanya 5,19 ton / ha per tahun. 

Sementara pemerintah mengklaim bahwa hasil beras dalam negeri telah meningkat setiap tahun dan seringkali menghasilkan surplus beras domestik, mereka terus secara konsisten mengimpor beras dari luar negeri.

"Tentu saja ini bertentangan dengan klaim bahwa produksi dalam negeri dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri. Bersama dengan rantai pasokan yang panjang dan infrastruktur yang tidak memadai untuk menjangkau jarak kepulauan Indonesia yang luas, mereka berkontribusi sebagai faktor utama pada harga beras yang tinggi, yaitu biaya logistik," imbuh Indra. 

"Mengurangi hambatan perdagangan akan menjadi salah satu solusi untuk mengurangi harga di saat kebutuhan dalam negeri tidak mencukupi, karena beras dari luar negeri lebih murah dan akan membuka persaingan sehat," sambungnya.

Tingginya harga beras, salah satunya, diperburuk oleh tarif impor dan pembatasan kuantitatif yang dikenakan pada beras. Tarif Rp450 per kilogram diberlakukan untuk semua jenis beras impor, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6/2017.

Selanjutnya, Undang-Undang Pangan Nomor 18/2012 memprioritaskan pengembangan produksi tanaman pangan domestik. Undang-undang tersebut menekankan pada larangan impor jika produksi dalam negeri cukup untuk memenuhi permintaan.

Dengan demikian, impor hanya berlaku ketika permintaan domestik melebihi penawaran terbatas. Peraturan ini dimaksudkan untuk melindungi produsen dalam negeri dari pasar internasional dan untuk mencegah mereka menerima harga rendah untuk tanaman mereka.

Selain pembatasan tarif dan kuantitatif, impor beras juga dihadapkan pada proses yang panjang. Pemerintah telah menunjuk Badan Urusan Logistik (Bulog) sebagai importir tunggal beras kualitas sedang, yang memberi mereka monopoli atas komoditas tersebut. 

Dengan demikian, keputusan untuk mengimpor beras hanya dapat dilakukan setelah kesepakatan dicapai melalui rapat koordinasi antara beberapa kementerian di Indonesia.

"Sayangnya, dibutuhkan waktu yang relatif lama untuk membuat keputusan akhir karena analisis masalah yang berkepanjangan, perbedaan kepentingan masing-masing kementerian, dan dilema data pangan yang masih menemui perbedaan antar instansi. Misalnya, untuk menetapkan kuota impor yang diperlukan untuk mengantisipasi permintaan konsumsi dan untuk cadangan stok untuk musim kemarau yang diprediksi. Pada akhirnya, impor beras masih sangat bergantung pada lampu hijau Presiden yang akan diberlakukan," terang Indra.

Selain itu, Indonesia perlu mempertimbangkan tidak hanya keterjangkauan, tetapi juga keragaman pasar beras. Daerah-daerah memiliki preferensi beras yang berbeda. Orang-orang di Jawa biasanya suka mengonsumsi beras lunak (pulen). Preferensi yang sama berlaku untuk bagian timur Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Papua, karena mereka lebih memilih beras yang lebih lunak.

Namun hal tersebut tidak terjadi di daerah lainnya. Sementara sebagian besar wilayah di Indonesia umumnya lebih suka nasi lunak, ada juga preferensi untuk beras yang lebih keras atau pera. Sebagai contoh, orang-orang dari Sumatera Utara dan Barat dan juga Kalimantan bagian barat lebih suka beras ini. Mengingat adanya keragaman dalam indera perasa Indonesia, produksi beras juga perlu ditingkatkan dan didiversifikasi sesuai dengan preferensi konsumen lokal. (OL-6)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Astri Novaria
Berita Lainnya