Headline
RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian
Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.
PROTES terhadap perusahaan layanan aplikasi berkendara seperti Uber dan Grab tidak hanya terjadi di Indonesia. Di beberapa negara lain seperti Tiongkok, Inggris dan Amerika Serikat (AS) keberadaan layanan aplikasi berkendara juga menimbulkan polemik. Bedanya, di negara-negara tersebut, pemerintah telah siap dalam menghadapi pesatnya kemajuan teknologi yang juga berimbas pada perkembangan bisnis dan ekonomi.
Setelah melalui proses yang tidak sebentar, pemerintah Tiongkok pada pertengahan Maret lalu mengungkapkan bahwa regulasi untuk mengatur keberadaan Didi Kuaidi dan Uber telah dibuat. Rencana kehadiran peraturan baru tersebut sekaligus mengindikasikan pemerintah akhirnya merestui kehadiran penyedia jasa transportasi berbasis daring agar bisa beroperasi bersama taksi konvensional.
Ekonom Universitas Padjajaran Ina Primiana mengutarakan hal serupa juga memang harus dilakukan Indonesia. "Kita tidak bisa menahan jika ada perkembangan teknologi yang berimbas pada kehidupan ekonomi," ucap Ina, Minggu (27/3).
Ia mengungkapkan langkah-langkah seperti penutupan atau pelarangan bukanlah hal yang tepat untuk diterapkan. "Kita tidak busa menyalahkan orang gang menggunakan teknologi untuk bisnis, apalagi sampai dilarang," tuturnya.
Ia mengatakan pemerintah Indonesia bisa mencontoh negara-negara lain dalam menghadapi berkembangnya layanan aplikasi berkendara. Di beberapa kota di AS, berbagai persyaratan ketat diterapkan. Di antaranya, pengendara taksi daring harus menggunakan pelat yang sama dengan taksi kuning yang selama ini telah merajai jalanan kota.
Pengemudi juga hanya boleh mengangkut penumpang melalui aplikasi. Surat izin mengemudi yang diperuntukkan bagi pengemudi Uber pun dibuat berbeda. Untuk pembayarannya, Uber hanya boleh menerima melalui mekanisme kartu kredit.
Tidak hanya mengatur regulasi, Ina menambahkan, jika perlu, konsultasi juga harus dilakukan untuk menengahi konflik yang terjadi antara pengusaha taksi konvensional dan aplikasi, seperti yang terjadi di Inggris. Hasilnya, pemerintah secara tegas menolak desakan perusahaan taksi konvensional untuk melarang Uber. "Intinya adalah pemerintah harus menjembatani agar tidak ada masalah antara taksi aplikasi dan taksi konvensional," paparnya. (OL-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved