Headline

Presiden Trump telah bernegosiasi dengan Presiden Prabowo.

Fokus

Warga bahu-membahu mengubah kotoran ternak menjadi sumber pendapatan

Pembahasan UU Omnibus Law Keniscayaan

(RO/E-3)
12/5/2020 06:55
Pembahasan UU Omnibus Law Keniscayaan
Wakil Ketua DPR RI bidang Korinbang Rachmat Gobel.(dok MI.)

URGENSI untuk melanjutkan pembahasan RUU omnibus law justru bertitik tekan pada perubahan ekonomi struktural yang akan dihadapi Indonesia ke depan. Oleh karena itu, pembahasan RUU tersebut tidak harus menunggu hingga ancaman pandemi covid-19 benar-benar tuntas.

Wakil Ketua DPR/Koordinator Bidang Industri dan Pembangunan (Korinbang) Rachmat Gobel mengatakan ketahanan ekonomi Indonesia saat ini dalam skenario sangat berat. Karena itu, diperlukan terobosan bahwa apa yang tengah dilakukan pemerintah harus memiliki kebijakan pamungkas yang dapat menjadi recovery total pascapandemi covid-19.

"Kita tidak bisa menunggu semua kondisi normal. Justru kita mempersiapkan formula terbaik dari kesiapan kita menghadapi kemungkinan kondisi terburuk," terangnya dalam diskusi di DPR, kemarin.

Hal senada dikatakan Rosan P Roeslani, Ketua Umum Kadin Indonesia. Menurut Rosan, kendala utama pertumbuhan ekonomi Indonesia ialah regulasi yang terlalu banyak, tumpang-tindih, dan sebagian bertentangan. "Upaya memangkas, menyederhanakan, dan menyelaraskan itulah yang sebenarnya menjadi pintu masuk. Capaian dari itu semua berupa masuknya investasi yang membuka lapangan pekerjaan ialah dampak positif yang dirasakan," ungkapnya.

Rosan menerangkan, dari sekian banyak dialog dengan kamar dagang dari Eropa dan Amerika Serikat, relokasi industri ke Asia ialah sebuah keniscayaan. Bahkan, Tiongkok sendiri terus merelokasi.

Dalam diskusi virtual DPR bidang Korinbang, Fraksi Partai NasDem memberikan pandangan bahwa pembahasan RUU omnibus law harus dilanjutkan. Sejumlah narasumber yang turut hadir dalam diskusi tersebut menyatakan percepatan pembangunan melalui realisasi omnibus law merupakan inti kebijakan ekonomi baru.

Djisman Simandjuntak, Rektor Universitas Prasetiya Mulya, misalnya, mengungkapkan pertumbuhan 7% tampak masuk akal sehingga cukup untuk membuka lapangan kerja formal bagi seluruh angkatan kerja. "Kita kehilangan waktu karena pandemi ini dengan penutupan bisnis, penutupan sekolah fisik, penutup an ibadah fisik, kehilangan output, kehilangan pekerjaan (employment), kembalinya perantau, penurunan konsumsi, penurunan ekspor, perlambatan investasi dan bersifat hugeuncertainty about what to come," ungkapnya.

Oleh karena itu, lanjut Djisman, diperlukan percepatan dengan lanskap ekonomi baru. Beberapa kebijakan tersebut meliputi penajaman persaingan dalam perdagangan internasional, investasi asing, pasar perusahaan teknologi, dan pasar talenta manusia (Asia sebagai episentrum pertumbuhan). (RO/E-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Triwinarno
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik