Headline
RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian
Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.
RANCANGAN Undang-Undang (RUU) Omnibus Law tentang Cipta Kerja dinilai baik untuk mempercepat masuknya investasi asing ke Indonesia guna mendongkrak pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan berada di kisaran 7%.
"Kalau dilihat, RUU ini memang ingin memangkas birokrasi yang memperlambat pertumbuhan ekonomi dan itu baik," kata Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Nur Hidayati, dalam diskusi publik bertajuk Mengapa Bingung pada Omnibus Law? di Jakarta, kemarin.
Namun, ia berharap pemerintah tidak mengubah substansi atau asas-asas mendasar dalam meningkatkan pertumbuban ekonomi. "Namun, jangan mengubah substansinya, asas-asas yang mendasar yang enggak boleh diubah," tukasnya.
Pandangan senada dilontarkan pengamat hukum Andi Syafrani. Dia menilai pemangkasan proses yang menghambat percepatan berinvestasi merupakan hal baik. "Ini kan (RUU Cipta Kerja), berkejaran dengan ekonomi yang sedang melambat. Apalagi di luar sana ada raksasa baru yang sedang hilang, yaitu Tiongkok. Singapura juga sedang terbatuk batuk, kemudian kita harus bergerak cepat. Caranya, undang-undang kita satukan saja demi memangkas hal-hal yang selama ini menghambat percepatan proses investasi," ucapnya.
Kendati demikian, ia meminta pemerintah untuk berhati-hati pada omnibus law yang memiliki scope terlalu luas karena bisa tumpang tindih dengan peraturan lainnya.
Ahli hukum tata negara Bivitri Susanti pun menilai pemotongan alur birokrasi untuk peningkatan ekonomi memang baik. Namun, pemerintah tidak bisa menyelesaikan permasalah itu dengan jalan pintas melalui omnibus law.
"Siapa sih yang enggak senang kalau ada pertumbuhan ekonomi? Memang sering disampaikan dalam diskusi publik bahwa tujuan RUU Cipta Kerja memang untuk menaikkan pertumbuhan ekonomi dengan asumsi pertumbuhan itu dapat dicapai dengan adanya lapangan kerja yang lebih luas."
Namun, masalahnya, kata dia, apakah betul cara untuk mencapai pertumbuhan ekonomi hanya dengan omnibus law, terutama RUU Cipta Kerja karena ada masalah lain seperti kapasitas kelembagaan pelaksana dan perizinan. "Kenapa itu tidak dibenahi dulu?" tukasnya.
Sejumlah alasan
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyebut ada beberapa alasan mengapa RUU Cipta Kerja ditolak, antara lain, hilangnya upah minimum, hilangnya pesangon, outsourcing bebas diterapkan di core bisnis, kerja kontrak tanpa batasan waktu, waktu kerja yang eksploitatif, buruh kasar TKA berpotensi bebas masuk Indonesia, mudah melakukan PHK, jaminan sosial terancam hilang, dan sanksi pidana hilang.
Ia menyatakan, dalam UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur waktu kerja 5 atau 6 hari seminggu. Namun, dalam RUU Cipta Kerja tidak ketentuan itu. Hanya disebutkan waktu kerja paling lama 8 jam sehari dan 40 jam seminggu.
"Karena menggunakan frasa paling lama 8 jam sehari, bisa saja hanya dipekerjakan 4 jam sehari (kurang dari 8 jam), dan upahnya dibayar per jam atau berdasarkan satuan waktu," tukasnya.
Lebih lanjut, kata dia, dalam RUU Cipta Kerja juga terdapat aturan pengusaha dapat memberlakukan waktu kerja yang melebihi ketentuan waktu kerja untuk jenis pekerjaan atau sektor usaha tertentu. Dengan kata lain, ketentuan itu melegalkan jam kerja melebihi 8 jam sehari dan 40 jam seminggu. (Des/*/P-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved