Headline

Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.

Iwa Garniwa : Indonesia Tetap Butuh PLTN

Andhika Prasetyo
08/8/2019 11:23
Iwa Garniwa : Indonesia Tetap Butuh PLTN
Ilustrasi(MI/Teresia Aan Meliana)

PEMADAMAN listrik yang melanda Jabodetabek, sebagian Jawa Barat dan Banten pada Minggu (4/8), memunculkan kembali wacana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) yang urung terealisasikan. Namun, Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Indonesia Iwa Garniwa memiliki pandangan berbeda. Indonesia memang butuh PLTN. Namun, itu tidak bisa dikorelasikan dengan fenomena balckout yang terjadi akhir pekan lalu.

Ia menjelaskan berhentinya pasokan listrik ke wilayah Jawa bagian barat adalah karena gangguan pada Saluran Utama Tegangan Ekstra Tinggi (Sutet) di Ungaran yang akhirnya merusak transmisi.

"Pemadaman kemarin itu karena gangguan, bukan karena pasokan yang habis. Jadi tidak bisa kita kaitkan langsung dengan PLTN," ujar Iwa kepada Media Indonesia, Kamis (8/8).

Kendati demikian, bukan berarti Indonesia tidak butuh PLTN. Hingga saat ini, Indonesia masih sangat bergantung pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) sebagai penghasil listrik utama. Porsinya mencapai 55%. Persoalan utamanya adalah cadangan batu bara yang merupakan sumber penggerak PLTU di Nusantara sangat terbatas.

Iwa memperkirakan stok yang tersedia benar-benar akan habis dalam empat puluh tahun ke depan.

“Kita tidak bisa menunggu batu bara habis baru mulai bergerak mencari sumber lain. Membangun PLTN itu tidak cepat. Minimal butuh waktu delapan sampai sepuluh tahun sampai akhirnya bisa beroperasi maksimal," terangnya.

Karena memiliki risiko tinggi jika terjadi kebocoran, pembangunan PLTN harus didasarkan pada kajian yang sangat matang. Feasibility study harus dilakukan setidaknya dua tahun terutama untuk mencari lokasi yang benar-benar aman untuk disinggahi PLTN seperti tidak berada pada sesar aktif, jauh dari dampak gunung meletus dan tsunami.

"Lokasi pembangunan PLTN harus bisa dipastikan aman dari bencana setidaknya dalam kurun 100 tahun ke depan," papar Iwa.

Selain itu, sebelum membangun, pemerintah juga sudah harus memutuskan akan masuk ke sistem mana listrik yang dihasilkan PLTN itu nanti. Apakah akan masuk sistem kelistrikan Jawa-madura-Bali, Sumatera atau Kalimantan.

“Kalau melihat yang paling butuh, ya Jawa karena punya pusat beban terbesar. Tapi kalau mau menyesuaikan rencana pembangunan ibu kota baru, bisa di Kalimantan,” ucap pria asal Bandung, Jawa barat itu.

Sayangnya, sampai saat ini, ia melihat pemerintah tidak menempatkan pembangunan PLTN sebagai suatu hal yang prioritas. Padahal, Indonesia sangat butuh sumber pembangkit listrik alternatif untuk menggeser PLTU dalam separuh abad ke depan.

Pemerintah, lanjut dia, dipayungi kekhawatiran yang berlebihan akan risiko bencana yang dapat ditimbulkan PLTN bila terjadi kebocoran. Padahal, jika dikaji dengan baik sebelum pembangunan, tentu berbagai risiko yang mungkin muncul dapat ditekan.

baca juga: Pemerintah Dorong Pembangunan Perumahan dengan Skema KPBU

"PLTN ini sudah terbukti sebagai infrastruktur yang aman dan baik. Bisa menjadi sumber baru yang efisien dan ramah lingkungan," tambahnya.

Dari sisi investasi, biaya yang dibutuhkan untuk membangun PLTN juga tidak akan berbeda jauh dengan PLTU. Hanya saja, selama ini, pemerintah selalu memasukkan risiko bencana dalam biaya pembangunan PLTN. Otomatis itu membuat anggaran menjadi bengkak. (OL-3)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya