Komitmen Produsen Nasional Kurangi Plastik masih Minim

Dhika kusuma winata
17/7/2019 20:14
Komitmen Produsen Nasional Kurangi Plastik masih Minim
Seorang pekerja tengah memilah sampah plastik yang akan diolah menjadi blow atau potongan-potongan kecil di tempat pengolahan sampah.(ANTARA)

KOMITMEN produsen nasional untuk mengurangi plastik dalam produksi kemasan produk mereka dinilai masih minim. Padahal, pemerintah bakal mewajibkan perusahaan yang menggunakan plastik sebagai kemasan produknya untuk mengurangi penggunaan virgin plastic dan mengutamakan daur ulang.

"Jujur saja pemerintah belum melihat komitmen yang nyata dari perusahaan nasional. Sejauh ini baru perusahaan multinasional yang punya target spesifik karena mereka juga punya komitmen global," kata Kasubdit Barang dan Kemasan Direktorat Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Ujang Solihin Sidik, dalam peluncuran Coca-Cola Plastic Reborn 2.0, di Jakarta, Rabu (17/7).

KLHK bakal menerbitkan peraturan mengenai peta jalan pengurangan sampah plastik oleh produsen (extended producer responsibility/EPR). Dalam rancangan aturan itu, produsen akan diminta menyusun rencana pengurangan plastik dalam jangka waktu 10 tahun.

Produsen juga akan diwajibkan menjemput kembali sampah kemasan plastik untuk didaur ulang dan merancang ulang desain produk agar kemasan dapat didaur ulang. Menurut Ujang, sejauh ini baru perusahaan multinasional yang sudah menegaskan komitmennya untuk pengurangan plastik seperti Coca-Cola, Danone, dan Unilever.

"Perusahaan multinasional bisa menyatakan rencana pengurangan di Indonesia karena ada komitmen dari petingginya dan telah menjadi komitmen global. Kami berharap perusahaan nasional juga memiliki komitmen kuat karena aturan EPR nanti akan berlaku untuk semua," imbuh Ujang.

Ia menambahkan kebijakan EPR nantinya juga akan membantu pertumbuhan industri daur ulang karena sampah plastik dalam negeri akan menjadi prioritas bahan baku. Meski begitu, ia mengakui secara umum sistem pengumpulan sampah hingga saat ini belum optimal. Hal itu menyebabkan bahan baku impor ataupun produksi dari virgin plastic masih lebih diminati produsen.

"Kalau bahan baku dari dalam negeri tersuplai baik kita tidak perlu impor sampah. Kami sedang bekerja keras untuk mewujudkan itu dan saat ini pemda bergerak, komunitas bergerak, entrepreneur bergerak, dan produsen mulai bergerak juga. Kami harapkan bisa segera terbangun ekosistem pengumpulan sampah yang baik," jelasnya.

Public Affairs and Communications Director Coca-Cola Indonesia Triyono Prijosoesilo mengakui komitmen pimpinan perusahaan dibutuhkan dalam menjalankan program EPR. Namun, belum semua perusahaan memandang plastik sebagai bahan baku. Coca-Cola Indonesia menetapkan target pada 2025 seluruh elemen kemasan merupakan bahan yang bisa didaur ulang.

"Pada 2030 kami menargetkan 50% kemasan dari bahan daur ulang bukan virgin plastic. Kita (perusahaan) tidak bisa lagi seenaknya untuk urusan sampah tapi harus mengelola dengan baik," ucapnya.

Terpisah, peneliti Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Fajri Fadillah menilai masalah sampah plastik merupakan fenomena gunung es karena kebijakan melalui pengurangan sampah terlambat diterapkan. Meski begitu, ia mengatakan pengurangan harus terus didorong dan optimistis penanganan sampah ke depan akan kian baik.

Syaratnya, partisipasi masyarakat untuk mengurangi sampah harus lebih masif dan produsen bertanggng jawab atas produknya yang menjadi sampah.

"Kebijakan agar produsen mengurangi seminimal mungkin produksi barang yang potensial menjadi sampah seperti plastik diperlukan," ucapnya. (Dhk/A-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Maulana
Berita Lainnya