Headline
Gaikindo membeberkan penyusutan penjualan mobil di Tanah Air.
Gaikindo membeberkan penyusutan penjualan mobil di Tanah Air.
INDUSTRI alas kaki dalam negeri mengalami pertumbuhan sebesar 4,13% pada tahun lalu. Pada tahun lalu, Indonesia juga mengekspor alas kaki sebesar US$5 miliar untuk pertama kalinya dalam sejarah.
"Perkembangan ekspor industri alas kaki di Indonesia dalam kondisi cukup baik karena sejak 2010 hingga 2018, industri ini tumbuh dua kali lipat," kata Budiarto Tjandra dari Dewan Pengurus Nasional Asosiasi Persepatuan Indonesia (Apresindo) di Jakarta, kemarin.
Dia menjelaskan, setelah mengalami penurunan pada 2009 dengan ekspor sebesar US$1,7 miliar, industri alas kaki mengalami rebound pada 2010 dan terus tumbuh hingga kini. Apresindo menargetkan ke depannya industri alas kaki bisa tumbuh dua kali lipat dalam kurun waktu lima tahun mendatang.
"Kami bakal ada akselerasi, bagaimana kami (industri alas kaki) mampu berkembang lebih cepat lagi, jadi enggak perlu menunggu 8 tahun, dalam 5 tahun kita mau double (pertumbuhan)," terangnya.
Baca Juga: Ekspor Jasa Bebas Pajak Diperluas
Budiarto juga menilai bisnis alas kaki tergolong industri cepat pulih dari resesi ekonomi. Terbukti meski pada 1998 bisnis ini sempat turun, kembali naik pada 1999. Terlebih industri alas kaki tidak bergantung pada investasi baru sehingga tetap berkembang saat investasi tinggi ataupun rendah. "Dari pemain yang ada saat ini tetap bisa berkembang, jadi tak melulu hanya mengandalkan investasi baru," kata Budi.
Sebagai informasi, negara tujuan ekspor industri alas kaki Tanah Air terbesar saat ini ialah Amerika Serikat, Tiongkok, dan Belgia. Adapun berdasarkan kawasan benua, Eropa Barat menjadi yang tertinggi sebesar 32%, disusul Amerika Utara, dan Asia Timur.
"Tiongkok itu, sebenarnya tadinya produsen sepatu, tapi sekarang juga banyak impor dari Indonesia karena industri di Tiongkok tengah turun. Jadi, ada peluang (bagi industri dalam negeri)," tandasnya.
Ekspor karet
Direktur Utama PT Riset Perkebunan Negara Teguh Wahyudi menilai kebijakan pemerintah yang memangkas ekspor karet alam sudah tepat. Meski penjualan ke mancanegara dikurangi, dari segi nilai Indonesia tidak akan mengalami kerugian. Sebab, dengan pasokan berkurang di tingkat dunia, harga karet akan mengalami perbaikan. "Jadi, walau volume yang kita jual lebih sedikit, nilainya tetap besar juga," jelas Teguh di Jakarta, kemarin.
Bahkan, saat tiga negara yang tergabung dalam International Tripartite Rubber Council (ITRC), yakni Indonesia, Malaysia, dan Thailand baru mengumumkan rencana pemangkasan ekspor pada Desember lalu, harga sudah merangkak naik. Hal itu terus berlanjut hingga kini dan diperkirakan masih akan menanjak dalam beberapa waktu ke depan.
Senada dengan itu, Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian Kasdi Subagyo berharap tren penurunan harga karet yang terjadi sejak 2011 bisa dihentikan dengan kebijakan itu. Sebab, jika terus terjadi, jelas yang paling dirugikan ialah para petani.
Ia mencontohkan 8 tahun lalu, harga karet berada di level cukup tinggi, yakni US$4-US$5 per kilogram (kg). Kemudian, pada 2018, harga merosot tajam hingga US$1,2 per kg. Namun, pada akhir 2018, harga mulai terkerek naik ke angka US$1,4 per kg.
Kasdi pun berharap kebijakan pemangkasan ekspor dari tiga negara produsen terbesar yang berkontribusi terhadap 70% pasokan di pasar dunia dapat mengangkat harga karet ke level tinggi.
Seperti diketahui, pemerintah Indonesia secara resmi memangkas 98.160 ton ekspor karet mentah. Langkah itu sebagai implementasi kebijakan agreed export tonnage scheme (AETS) ke-6 yang bertujuan memperbaiki harga karet alam dunia yang saat ini berada pada level rendah. (Pra/E-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved