Headline

Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.

Fokus

Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.

2 Aspek yang Mempengaruhi Pengalihan Pola Konsumsi Energi

MICOM
01/3/2019 18:47
2 Aspek yang Mempengaruhi Pengalihan Pola Konsumsi Energi
(Dok. MI)

PENGALIHAN pola konsumsi energi oleh masyarakat tergantung dua hal, yakni aspek ketersediaan dan keterjangkauan. Sebab, pada dasarnya konsumen tidak mempermasalahkan, apakah menggunakan energi berbasis migas ataupun listrik. Selama dua aspek tersebut terpenuhi, tergantung mana yang lebih mudah.

“Saat ini konsumen belum memikirkan apakah sumber energinya berasal dari batubara, migas, ataukah bagian dari energi baru terbarukan (EBT). Yang penting, energinya harus tersedia dan terjangkau,” jelas pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, Jumat (1/3).

Baca juga: Februari Terjadi Deflasi, Darmin Sebut Ada Peranan Pemerintah

Menurut Fahmy, akan ada sejumlah manfaat yang diperoleh masyarakat, apabila nantinya pengalihan pola konsumsi ini terjadi. Misalnya, saat terjadi migrasi ke mobil listrik.

“Manfaat langsung yang dirasakan konsumen, terutama karena yang digunakan energi listrik, termasuk energi bersih (clean energy). Ini dimungkinkan, mengingat ada sebagian masyarakat yang mulai sadar lingkungan. Maka di sini energi listrik menjadi pilihan, seperti halnya mobil listrik dan kompor listrik (induksi).” tandasnya.

Ke depan, pengalihan pola konsumsi energi masyarakat ke listrik akan terjadi. Namun yang penting, kembali dua hal, yakni terkait ketersediaan dan keterjangkauan. Perubahan memang tidak bisa terjadi secara total dan cepat, melainkan secara bertahap. Tapi yang jelas, sambung dia, dengan adanya perpindahan pola konsumsi energi, akan terjadi penghematan.

“Jadi misal pemerintah memberikan subsidi solar, lalu subsidinya dialihkan kepada mobil listrik, maka otomatis akan mengurangi subsidi solar. Juga, terjadi penghematan beban energi yang ditanggung APBN. Selain itu, impor BBM akan jauh berkurang. Itu sebabnya pemerintah harus mendorong peralihan dari kendaraan yang  menggunakan energi berbasis fuel kepada berbasis listrik, dan juga penggunaan kompor listrik (kompor induksi).” paparnya.

Pakar ketenagalistrikan dan Guru Besar FT-UI Professor Iwa Garniwa mengemukakan hal senada. Menurutnya, kalau ditinjau dari segi harga, apakah listrik lebih murah dengan harga yang ada sekarang, ia tidak bisa menjawab secara pasti. Riset yang dilakukannya lima tahun lalu menyebutkan listrik lebih efisien. Namun, harga listrik saat ini sudah berbeda.

“Jika pemerintah memutuskan menaikkan atau menurunkan harga migas, bisa jadi harganya lebih mahal atau murah perbandingannya, antara memasak menggunakan bahan bakar migas atau listrik. Jadi penetapan harga itu relatif sifatnya,” papar Anggota Panitia Akreditasi Ketenagalistrikan, Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan, Kementerian ESDM ini.

Baca juga: Kunjungan Wisman Alami Penurunan pada Januari 2019

Exeecutive Vice President Corporate Communication and CSR PT PLN (Persero) I Made Suprateka mengemukakan bahwa pada akhirnya harus sepakat untuk mempertajam berbagai sumber alam yang dapat memberi kontribusi penguatan ekonomi Indonesia, sekaligus berarti meminimalisir berbagai hal, terutama pada pos-pos pengeluaran belanja negara, yang memiliki fungsi substistusi yang bersumber dari dalam negeri.

“Dengan demikian maka kita dapat melakukan bauran energi yang paling ekonomis, untuk menghasilkan sumber listrik yang sustain, baik dalam hal kapasitas, ketersediaan, dan juga harganya,” tambahnya. (RO/OL-6)

 

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Astri Novaria
Berita Lainnya