Headline
Manggala Agni yang dibentuk 2002 kini tersebar di 34 daerah operasi di wilayah rawan karhutla Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.
Manggala Agni yang dibentuk 2002 kini tersebar di 34 daerah operasi di wilayah rawan karhutla Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.
Sejak era Edo (1603-1868), beras bagi Jepang sudah menjadi simbol kemakmuran.
MESKI pemerintah mengklaim rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) relatif aman, namun akselerasi pertambahan utang perlu dijaga.
"Jika menggunakan acuan OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development), rasio utang terhadap GDP (Gross Domestic Product) yang "threshold"-nya di 60 persen, saat ini utang pemerintah masih pada level aman," ujar ekonom Asian Development Bank (ADB) Institute Eric Sugandi kepada Media Indonesia, Minggu (8/4).
Seperti diketahui, rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hingga akhir Februari 2018 tercatat 29,2 persen. Adapun nominal utang mencapai Rp 4.034,80 triliun. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, batas aman utang pemerintah maksimum 60 persen terhadap PDB.
Lebih lanjut Eric mengingatkan pemerintah untuk menjaga akselerasi utang agar tidak bertambah terlalu cepat. Caranya dengan membuat skala prioritas dalam hal belanja negara.
Dia menekankan penggunaan utang harus untuk kegiatan produktif. Misalnya pembangunan infrastruktur dan sektor pendidikan. Bukan untuk menambal alokasi belanja pegawai atau subsidi yang berujung tidak tepat sasaran.
"Sementara direm dulu belanja yang tidak priorotas. Berkaitan dengan proyek infrastruktur, utang ini harus digunakan untuk tujuan produktif dan tepat sasaran," imbuh Eric.
Eric memahami utang pemerintah yang mayoritas menyokong pembangunan infrastruktur tidak lain untuk mendorong aspek pemerataan. Hanya saja, pemerintah perlu mengutamakan proyek infrastruktur yang membuka konektivitas antar wilayah, sekaligus menstimulus pertumbuhan ekonomi. Selain itu, pemerintah sebaiknya memprioritaskan pemanfaatan utang untuk proyek yang hasil pengerjaannya bersifat "durable" atau tidak mudah rusak.
"Sehingga, maintenance proyek terjaga dengan baik. Jadi tidak perlu bolak balik pinjam untuk memperbaiki kerusakan. Pengawasan penggunaan utang intuk infrastruktur ini juga harus ketat. Khususnya dari Kementerian PUPR," tukasnya.
Di samping itu, Eric turut menyoroti porsi utang pemerintah di mana 80 persen bersumber dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN). Adapun kepemilikan asing dalam SBN yang diperdagangkan sekitar 40 persen. Padahal pergerakan asing cukup memberikan sentimen terhadap nilai tukar rupiah. Dalam hal ini bila terjadi aliran modal keluar (capital outflow).
"Pelemahan rupiah ini jika persisten bisa sebabkan kenaikan inflasi. Pertumbuhan ekonomi juga berpotensi terganggu. Selain itu, bisa menaikkan nilai cicilan utang luar negeri pemerintah jika dikonversi ke rupiah," ucapnya.(X-10)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved