Headline
Presiden Prabowo resmikan 80.000 Koperasi Merah Putih di seluruh Indonesia.
Presiden Prabowo resmikan 80.000 Koperasi Merah Putih di seluruh Indonesia.
UTANG pemerintah terus meningkat secara agresif sejak 2015 lalu. Kini, posisi utang pemerintah yang mayoritas menyokong pembangunan infrastruktur sudah melampaui level Rp4.000 triliun. Pemerintah pun diminta waspada mengelola utang agar tidak mengalami gagal bayar seperti Angola dan Nigeria
"Negara lain yang terjadi bad story soal utang itu terjadi di Pakistan, Sri Lanka hingga Zimbabwe. Mereka membangun proyek infrastruktur lewat utang. Akhirnya mereka tidak bisa bayar utang. Jangan sampai Indonesia tidak bisa bayar utang, karena penggunaan utangnya mirip-mirip untuk infrastruktur," ujar peniliti Intitute for Development of Economics and Finance (Indef) Rizal Taufikurahman dalam diskusi di Jakarta, Rabu (21/3).
Zimbabwe diketahui memiliki utang sebesar US$40 juta kepada Tiongkok. Tidak bisa membayar utang, Zimbabwe terpaksa mengganti mata uangnya menjadi yuan sebagai imbalan penghapusan utang sejak 2016 lalu. Sri Lanka pun mengalami kegagalan pembayaran utang ke Tiongkok. Imbasnya, pemerintah Sri Lanka harus melepas Pelabuhan Hambatoa.
Kekhawatiran Rizal terhadap kondisi utang pemerintah tidak lepas dari masifnya pembangunan infrastruktur yang dinilai kurang produktif. Padahal, pembangunan infrastruktur semestinya dapat meningkatkan produktivitas, daya saing dan efisiensi. Namun yang terjadi malah sebaliknya.
"Tapi (pembangunan) infrastruktur di kita itu agak aneh, infrastruktur kan untuk produksi dan efisiensi. Namun tidak terjadi juga di kita. Biaya transportasi naik, harga naik dan inflasi juga tinggi. Artinya, memang infrastruktur ini belum bisa mendorong efisiensi," imbuh Rizal.
Kendati demikian, sambung dia, masih ada negara yang tergolong sukses mengelola utang. Misalnya saja Korea Selatan, Jepang, dan Tiongkok yang pembangunan infrastrukturnya berhasil mendorong nilai tambah di sektor lain.
Negara-negara tersebut mampu menggunakan utang secara produktif untuk membangun sumber daya manusia (SDM) dan industri. Indef dalam hal ini mempertanyakan produktivitas utang pemerintah seiring pergerakannya yang melesat tajam.
Utang pemerintah pada 2015 tercatat Rp3.165,13 triliun, kemudian 2016 sebesar Rp3.515,46 triliun, dan pada 2017 menembus angka Rp3.938,45 triliun. Pertumbuhan rata-rata utang tiap tahunnya terbilang double digit, yakni sekitar 11%-14%. Adapun posisi utang pemerintah per Februari 2018 tercatat Rp4.034,80 triliun.
"Memang kondisi utang kita tidak persis seperti Zimbabwe atau Angola, karena kita masih bisa bayar utang. Tapi dampak utang ini hanya di sektor-sektor yang berdampak langsung. Untuk peningkatan produktivitas di sektor riil relatif kecil. Ini yang jadi warning. Karena secara agregat (utang) bukan untuk kegiatan produktif, tapi porsi konsumsinya naik. Bukannya menakut-nakuti, tapi ada kecenderungan kalau utang dibiarkan tidak produktif bisa menjadi bom waktu," imbuh Direktur Eksekutif Indef Enny Sri Hartati.
Lebih lanjut Enny menggarisbawahi utang pemerintah yang tumbuh pesat dalam tiga tahun terakhir semestinya mampu meningkatkan produktivitas dan akselerasi dari pertumbuhan ekonomi. Termasuk, meningkatkan kemandirian ekonomi nasional.
Akan tetapi, nilai utang pemerintah yang terus bertambah tidak diiringi dengan peningkatan produktivitas. Daya saing maupun ketergantungan ekonomi domestik terhadap asing dikatakannya justru meningkat. (A-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved