Headline

Manggala Agni yang dibentuk 2002 kini tersebar di 34 daerah operasi di wilayah rawan karhutla Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.

Fokus

Sejak era Edo (1603-1868), beras bagi Jepang sudah menjadi simbol kemakmuran.

Jangan (Terlalu) Berharap pada si Badut

24/1/2018 23:31
Jangan (Terlalu) Berharap pada si Badut
(AFP PHOTO / Fabrice COFFRINI)

DI tengah suhu dingin yang mencapai minus 3 derajat celsius, sejumlah pemimpin dunia, para CEO terkemuka, politikus, filantrop, dan para intelektual dari berbagai disiplin ilmu, selama tiga hari bakal mendiskusikan tentang masa depan dunia dan pembangunan ekonomi berkelanjutan di Davos. Pertemuan di kota kecil di pegunungan Alpen, Swiss, itu digagas World Economic Forum, sebuah lembaga independen yang beranggotakan para ekonom, pebisnis, dan akademisi. Tema pertemuan yang digelar 23-26 Januari ini ialah Creating a shared future in a fractured world (Menciptakan masa depan bersama di dunia yang retak).

“Saat ini ada bahaya nyata dari runtuhnya sistem global. Tapi perubahan tidak terjadi begitu saja. Semuanya ada di tangan kita untuk memperbaiki kondisi dunia dan itulah yang diperjuangkan World ­Economic Forum,” kata pendiri WEF, Klaus Schwab, seperti dikutip Deutsche Welle. Profesor kelahiran Ravensburg, Jerman, itu barangkali gusar. Kemajuan teknologi yang seharusnya mendorong bandul planet ini bergerak ke arah global malah memunculkan Chauvinisme sempit dan bangkitnya kaum ultranasionalis, terutama di Eropa.
Gerakan antipendatang dan sistem proteksionisme di bidang perdagangan, yang salah satunya digaungkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, sungguh bertentangan dengan slogan dan semangat globalisasi yang selama ini mereka agungkan.

Dalam pidato di forum itu, Selasa (23/1), Perdana Menteri India Narendra Modi tegas mengatakan hambatan perdagangan lewat kebijakan proteksionisme berbahaya bagi dunia, sama halnya dengan perubahan iklim dan terorisme. Dia tidak menyebut nama Trump.
“Kaum proteksionisme jelas menentang globalisasi,” kata Modi. Uniknya, dalam pertemuan itu Trump bakal menjadi salah satu pembicara kunci. Kehadiran presiden yang disebut harian The Newyorker sebagai ‘badut berbahaya’ itu tentu saja menimbulkan pertanyaan besar bagi sejumlah media.

Pasalnya, selama ini Trump getol mengkritik kerja sama global di bidang perdagangan. Hal itu telah dia buktikan dengan menarik diri dari kemitraan niaga Trans-Pacific Partnership (TPP). “TTP adalah bencana karena bisa merugikan perusahaan-perusahaan Amerika,” begitu dia kerap ‘berkhotbah’ kepada pendukungnya. Lantas ‘Bagaimana Trump akan memainkan perannya di Davos?’, tulis Washington Post<p> edisi 10 Januari lalu. Mengutip salah satu pejabat di Gedung Putih, situs www.independent.co.uk menyebut kehadiran Trump di Davos tak lain ingin mengundang para investor menanamkan modal mereka di AS dan menciptakan lapangan kerja di negaranya. Persis seperti mantra politiknya selama ini; America First. Jadi, jangan terlalu berharap ‘si badut’ ini bakal mengutamakan nasib para pencari suaka yang terperangkap dinginnya cuaca ekstrem Eropa, apalagi mengha-dirkan tawa bagi bocah-bocah Palestina di Tepi Gaza. (Adiyanto/E-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya