PANTAI Citepus dan Cimaja punya dua wajah yang kontras. Di mata peselancar lokal hingga yang datang dari berbagai belahan dunia, ombaknya menantang dengan panorama memesona sebagai latarnya. Namun, keduanya juga bisa menghadirkan kedukaan bahkan kehancuran.
Maka, sebagai pemuda lokal yang dibesarkan di antara ombak, keriuhan para pelancong, dan denyut hidup desa nelayan, Herlan Bagja Nugraha tak cuma berhenti pada kerisauan dalam bencana semata. Lolos seleksi sebagai Fasilitator Desa Tanggap Bencana (Destana) yang diselenggarakan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Herlan yang telah mengikuti pembekalan pada Juli hingga Agustus di Jakarta kini mengawal berbagai mufakat yang diselenggarakan Badan Perwakilan Desa (BPD) Desa Citepus, Kecamatan Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi.
"Agar semua program infrastruktur, termasuk dananya, benar-benar dapat terealisasi. Kontrol ini penting karena kami mulai mengawal dari penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Desa agar semuanya juga mengakomodasi pentingnya mitigasi bencana di wilayah ini," kata Herlan.
Kendati berada di bibir tiga pantai, Citepus dan Cimaja, serta sebagian bibir Pantai Pelabuhan ratu, desanya belum terlampau siap menghadapi berbagai risiko bencana.
"Belajar dari tsunami Aceh 2004, yang memacu kenaikan ombak di Citepus dan Cimaja, memang telah ada jalur evakuasi, tetapi potensi angin rob, sejenis puting beliung, masih belum dimitigasi secara optimal. Sosialisasi soal bencana dari laut pun masih harus dilancarkan," kata Herlan.
Makin pandai hadapi kekeringan Berfokus pada mitigasi atau upaya mengurangi risiko, baik secara fisik maupun peningkatan kemampuan, para pemuda lokal dilatih dan mendampingi warga desa di berbagai wilayah Indonesia yang rawan bencana. Mereka punya misi membuat desa tangguh dan berdaya menghadapi berbagai bencana, baik alam maupun yang dipacu perilaku manusia.
Simulasi mitigasi bencana gempa diikuti para pelajar di Padang, Sumatera Barat Foto: Antara/Iggoy
Rizki Estrada Otto Portier, fasilitator di Desa Sukahurip, Kecamatan Pangatikan, Kabupaten Garut, kini pun mulai menyusun agenda sosialisasi kesiapan menghadapi aneka bencana yang rawan menimpa daerahnya. "Kalau sekarang, yang paling rawan ialah kekeringan, kebakaran hutan, tapi jangan lupakan pula, jika musim hujan nanti datang, ada berbagai bencana lain yang berpotensi datang. Jadi memang mitigasi ini harus dibuat strateginya, masyarakatnya siap, infrastrukturnya sesuai, dan aturan serta perangkat desanya juga mendukung. Ya karena di Indonesia, aneka bencana mungkin menimpa," kata Rizki.
Keselamatan dari bencana yang terjadi, kata Rizki, mestinya bukan kebetulan, melainkan bisa dipersiapkan secara sistem ataupun pada manusia yang tinggal di sana.
"Bencana harus dipahami sebagai pertanda alam yang membuat manusia harus sigap. Belajar dari alam membuat kita harusnya makin pandai," kata Rizki.
Belajar dari Sungai Padolo Kisah tentang bencana serta upaya menjadikan risiko sebagai kesempatan untuk belajar dan bertumbuh juga terjadi di Kelurahan Paruga, Kecamatan Rasanae Barat, Kota Bima. Kaharuddin, fasilitator Destana di sana, mengajak warga sekitarnya untuk tak terus-menerus menjadi korban banjir Padolo, sungai terbesar di Bima.
Anak-anak Desa Takoko, Mentawai, Sumatera Barat menyanyi dan menarikan lagu tradisional yang menceritakan tentang gempa Foto: Yuhi Mahatma
"Jangan terus jadi korban. Banjir bisa datang sekali hingga beberapa kali setahun. Manusia di sekitarnya harus terus belajar, mulai dengan tidak tinggal di bantaran sungai, merawat lingkungan, menyiapkan jalur evakuasi, dan tak kalah penting menyadari risiko bencana ini dan tahu apa yang harus dilakukan untuk mencegahnya terjadi dan tak terus menempatkan diri jadi korban," kata Kahar.
Dari berbagai desa di penjuru negeri, pemuda-pemuda itu bersinergi dengan masyarakat, pemerintah lokal, dan berbagai institusi. Mereka menjadikan bencana sebagai wahana belajar untuk makin berdaya. (M-2)