Headline
Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.
Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.
GEDORAN hujan tidak menghentikan jemari Buyuang, 54, untuk merangkai kertas karton dan membentuk kupu-kupu sebagai komponen Tabuik. Sisi lain, beberapa orang terus merangkai bungo salapan dan komponen Tabuik lainnya. Tak jauh dari tempat pembuatan rumah-rumahan Tabuik, replika burak berwarna hitam berdiri dengan gagah. Tonggak serak berdiri kukuh memagari burak. Sabtu malam, pertengahan Oktober lalu, mereka berkejaran dengan waktu. Sebab, esok akan menjadi hari puncak Tabuik; dua Tabuik, yakni Tabuik Pasa dan Tabuik Subarang, diarak dan dilarung ke Samudra Hindia di Pantai Gondoriah Pariaman.
Terpal biru yang dibentangkan di atas setidaknya mampu melindungi mereka dari muntahan hujan sehingga proses pembuatan bangunan Tabuik bisa diselesaikan hingga pagi menjelang. “Beginilah untuk membuat Tabuik, kadang kita kedatangan hujan. Sementara rumah Tabuik dikunci,” ujar Buyuang, yang merupakan niniak mamak Tabuik. Sejarah Tabuik ialah sejarah mengultuskan kematian Husain 61 H (680 M) oleh penganut Syiah. Tabuik dibawa ke Pariaman oleh penganut Syiah, bangsa Sipahi, India, yang sebelumnya bermukim di Bengkulu. Tuo Tabuik (tetua Tabuik) Nasrun Jon mengatakan sekitar 1826, dua murid Imam Kadar Ali dari Cipai, yakni Mak Sakrana dan Mak Sakauyana, menyeberang dari Bengkulu dan mendarat di Pariaman. Mereka bergaul, lalu teringat akan budaya penghormatan kematian Husain yang selalu mereka gelar di Bengkulu, yakni Tabot.
Gayung bersambut, pribumi Pariaman tidak mempermasalahkan budaya yang mereka tampilkan. Justru, sebut Nasrun, pada 1890 seorang Pariaman dari kampung Punggunglading Mak Rambai, terinspirasi oleh Tabuik tersebut, kemudian memodifikasi bentuknya seperti yang ditampilkan hari ini. \Melihat rumah-rumahan (bangunan) Tabuik akan membuat orang paham betapa sebuah tradisi yang awalnya pengkultusan Husain oleh penganut Syiah luruh dalam kebudayaan Minang yang adiluhung.
Replika burak yang terletak di pangkek bawah (penopang di bawah), ialah binatang mitologi berwujud seekor kuda bersayap, berkepala wanita, yang mewakili kendaraan Husain saat berperang di Karbala. Penulis buku Sejarah Tabuik, Asril Muchtar, mengatakan, oleh leluhur Tabuik Piaman, burak dirancang sebagai hewan rekaan yang mampu mengangkat dan membawa terbang semua unsur dan ornamentasi Tabuik yang terdapat pada pangkek ateh (pangkat di atas), yakni puncak Tabuik, gomaik, bungo salapan, biliak-biliak, jantuang-jantuang, salapah, dan pasu-pasu.
Diredupkan
Untuk bertahan, ritual yang sifatnya sakral diredupkan agar stigma Syiah tidaklah kentara. Sifatnya, ratapan pewaris Tabuik dan pertarungan antarpengarak Tabuik perlahan-lahan dipadamkan. Diterimanya Tabuik masyarakat Pariaman tentu bisa dilihat dari keterbukaan daerah ini di masa lampau. Pariaman ialah bandar dagang (entrepot) sibuk di Pantai Barat di masa lampau. Melalui tahapan negosiasi, pada akhirnya, Tabuik sebagai budaya Syiah diterima, bahkan sudah mempresentasikan kebudayaan Pariaman. Asril mengatakan dalam setiap pelaksanaan pesta Tabuik, benda-benda tersebut disakralkan dan disimpan di rumah keluarga Tabuik. Ia hanya akan dikeluarkan kala pesta Tabuik digelar.
“Hari turun mengambil batang pisang, lalu dibawa ke rumah Tabuik, sekitar 15 perempuan dari keluarga pewaris Tabuik langsung menunggu. Ada sedikit ratapan,” ujar Buyuang. Setelah semua ritual dipenuhi, di hari ke-10 Muharam, atau sekarang hari ke 15 tergantung jatuhnya inggu, paginya Tabuik naik pangkat, siangnya diarak, dilarung ke Samudra Hindia jelang mentari terbenam di ufuk barat. Asril menegaskan, Tabuik berasal dari ritual Syiah (warisan dan budaya Syiah), sebab tidak mungkin orang Piaman (Pariaman dan sekitarnya) atau lahir di Pariaman, punya tradisi ritual memperingati kematian Husain.
Dalam arak-arakan Tabuik, terdengarlah yel-yel dengan bunyi lebih kurang Hoyak, Hosain, Hoyak Husain ya Husain O, ya Husain. Guru Besar Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Imam Bonjol Duski Samad Tuanku Mudo mendefenisikan yel-yel tersebut dalam perspektif masyarakat Pariaman sebagai ungkapan kata-kata dan ekspresi, bentuk keprihatinan terhadap cucu Nabi Muhammad SAW, sebagai korban berdarah dari peristiwa yang dikenal dengan Perang Karbala. Dia menegaskan, mahrifat atau pemahaman masyarakat Pariaman dalam Tabuik, sesungguhnya pemuliaan Husain sebagai wujud menghormati cucu Nabi, tidak punya sangkut paut secara keberagamaan. “Mahrifat orang Pariaman tentang Ali, bukan mahrifat tentang Syiahnya, tapi Ali adalah khalifah keempat, Ali adalah menantu Rasul, Ali seorang khalifah. Ini mahrifat orang Pariaman, ini Suni sebenarnya,” jelas Duski dalam seminar Tabuik dalam Perspektif Budaya di Balai Kota Pariaman, pertengahan bulan ini.
Duta Besar Iran Mahmoud Farazandeh datang ke Pariaman untuk sekadar menyaksikan puncak Pesta Budaya Tabuik 2012 silam. Tabuik juga menjadi alasan perempuan Iran, Zohreh, untuk tinggal selama 15 hari di Pariaman. “Saya ke sini untuk melihat Tabuik, yang diceritakan di negara saya sebagai kebudayaan kami juga. Sebagai cara menghormati khalifah Husain,” tukasnya. Duta Besar (Dubes) Indonesia untuk Republik Islam Iran, Octavino Alimudin, yang hadir dalam puncak Tabuik tempo hari, mengatakan ada sekitar 7.000 wisatawan asal Iran yang melancong ke Indonesia setiap tahun. Hal demikian tentu potensi wisatawan bagi Pariaman, tentunya tanpa harus jengah dengan kata Syiah. “Tabuik adalah pengejewantahan dari visi Pariaman menuju daerah wisata, berdasarkan 3 basis yakni agama, lingkungan, dan ekonomi kreatif,” ujar Wali Kota Pariaman Mukhlis Rahman. Tanpa harus terjebak pada kata Syiah, sesungguhnya Tabuik menyampaikan pesan tentang arti akulturasi yang berwajah toleransi. Di dalamnya pengerjaannya pun terkandung semangat komunalisme. Saban Muharam, Indonesia dan juga dunia harus menoleh ke Pariaman, melihat Syiah dan Suni bersatu dalam wujud Tabuik. (M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved