Headline

Manggala Agni yang dibentuk 2002 kini tersebar di 34 daerah operasi di wilayah rawan karhutla Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.

Fokus

Sejak era Edo (1603-1868), beras bagi Jepang sudah menjadi simbol kemakmuran.

Antara Olahraga dan Etos Jepang

FARIO UNTUNG TANU
30/10/2016 01:00
Antara Olahraga dan Etos Jepang
(MI/ARYA MANGGALA)

MENGENAKAN baju mirip olahraga karate, perempuan muda itu serius melakukan gerakan-gerakan bela diri. Namun, bukan dengan tangan kosong, melainkan menggunakan pedang yang terbuat dari gabus. Gerakan yang dilakukannya mirip dengan pertarungan menggunakan pedang lainnya, yakni gerakan menyabet pedang dari atas ke bawah dan ada pula gerakan menusuk. Itulah chanbara, olahraga asal Jepang yang memadukan bela diri dan koreografi pedang. Berkonsep koreografi , olahraga ini berkembang dari aksi di film-film samurai yang berkembang pasca-Perang Dunia II.

“Di chanbara (dibaca, chambara), hal utama yang dilatih memang tak hanya olahraga, tapi juga ada budaya dan etos negeri Jepang yang diajarkan seperti disiplin dalam berlatih dan saling hormat,” tutur salah satu peserta chanbara, Adela Jansen, kepada Media Indonesia, Rabu (26/10). Adela ialah salah satu dari banyak remaja yang berlatih chanbara di Samurai Kids yang berlokasi di kawasan Taman Palem, Jakarta Barat. Budaya Jepang memang terlihat sejak awal latihan. Peserta melakukan hormat menunduk kepada pelatih dan peserta lainnya.

Gerakan menunduk ini juga bertujuan menjaga sikap rendah hati. Meski nantinya para peserta saling menyerang dan beradu keunggulan gerakan, rasa hormat dan saling menghargai tetap diutamakan. Salah satu pengajar chanbara di Samurai Kids, Wilson Christianto, mengatakan sikap saling menghargai itu juga berlaku dalam hubungan antartingkatan. “Saling menghargai dan menghormati itu kita sebut respek. Karena setiap tingkatkan sabuk tidaklah ada perbedaan dengan sabuk yang lebih rendah. Semua sama, harus saling sopan antarteman,” jelas Wilson.

Di Indonesia, chanbara dikenal memiliki tiga kategori yang dibedakan berdasarkan penggunaan pedang, yakni, kodachi (pedang berukuran pendek), choken (pedang berukuran panjang), dan nito (dua pedang). “Kalau untuk kategori di pertandingan chanbara itu semua umur bisa ikut. Hanya tergantung level orang itu saja yang menentukan. Karena biasanya yang tingkatan level sudah tinggi, kebanyakan umurnya juga sudah dewasa,” sambungnya.

Tingkat kesulitan gerakan chanbara bertambah karena aturan dalam melangkah. Wilson menjelaskan dalam setiap gerakan, langkah harus diakhiri dengan posisi kaki kanan di depan. Dalam pertandingan, pemain dinyatakan menang jika sudah mendapatkan tiga poin atau berarti telah tiga kali berhasil menyerang ke bagian tubuh yang menjadi target. “Biasanya akan menghitung poin sampai tiga. Setiap berhasil mengenai badan lawan, akan mendapatkan satu poin. Nah siapa dulu yang bisa mencapai tiga poin, maka dia yang menang,” jelas Wilson.

Kejujuran
Saat melihat aksi bela diri chanbara, kita akan selalu mendengar para peserta berteriak sebelum menyerang. Teriakan ini bukan untuk menakuti, melainkan menunjukkan bagian tubuh mana yang akan diserang. Teriakan yang tidak sesuai dengan sasaran yang dituju ialah hal yang tidak diperbolehkan. Meski berarti tidak dapat mengelabui lawan, kejujuran inilah salah satu hal yang dijunjung dalam chanbara. Sebab itu, tambah Wilson, olahraga ini juga punya manfaat besar dalam membentuk karakter. Para peserta chanbara berlatih untuk menjaga integritas dan tetap percaya diri dalam pertandingan yang jujur.

Tidak mengherankan jika kelas chanbara juga dibuka untuk anak kecil. Lewat olahraga ini, diharapkan anak dapat belajar karakter-karakter positif selain juga melatih fi sik. “Di kategori little class (kelas anak kecil), setiap akhir kelas kita selalu ingat kan untuk tidak boleh berbuat bulliying serta sombong kepada teman-temannya,” ujar Wilson. Sementara itu, Adela merasakan bela diri ini membantunya melindungi diri sendiri. Meski olahraga itu bersenjatakan pedang gabus, kelihaian dan kekuatan tubuh dirasakannya telah terbentuk. “Kalau ikut chanbara otomatis kita bisa belajar bela diri. Diri merasa lebih aman ketika berada di luar rumah,” tutur perempuan 17 tahun ini.

Rheza Andrianto juga merasakan hal yang sama. Pria yang sudah bersabuk hitam itu merasakan memiliki keahlian untuk menjaga diri ketika sewaktu-waktu mengalami hal-hal yang tidak diinginkan. “Setidaknya saya lebih percaya diri dan cukup berani ketika sewaktu-waktu terjadi hal-hal yang mengharuskan saya membela diri. Karena memang kita dilatih berhadapan satu lawan satu dengan orang lain serta menjaga diri,” jelas Rheza. (M-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya